2 Juli 2022

 

Pendopo depan Pesanggrahan Langenharjo.

Setelah ketentuan terkait pandemi menjadi lebih longgar, saya memutuskan untuk jalan-jalan ke Solo sekaligus bertemu dengan orang tua saya. Kebetulan, di suatu pagi, saat kami sedang berpikir mau jalan-jalan ke mana, saya menemukan, di GoogleMaps, ada suatu bangunan yang dikategorikan sebagai museum di dekat tempat kami tinggal. Langsung saya dan ibu saya berangkat ke sana.

Tempat yang kami tuju adalah Pesanggrahan Langenharjo yang dibangun oleh Sultan Pakubuwono IX. Tempat ini dulunya adalah tempat peristirahatan dan pemandian keluarga raja Keraton Kasunanan Surakarta di abad ke-19. Konon dahulunya keluarga keraton Kasunanan sering berwisata di sini dan juga menjamu tamu-tamu penting. Tapi sekarang, tempat ini sudah jauh berubah.

Lokasinya berada di desa Langenharjo, tidak jauh dari perumahan Solo Baru, di tepi Bengawan Solo, di tengah perkampungan penduduk. Tempat ini dikelilingi oleh tembok yang cukup tebal, namun nampak tua. Walau saya tidak melihat ada coret-coretan vandalisme, namun kerusakan akibat alam terlihat di sana-sini.

Kami parkir di depan sebuah pendopo, yang terhubung dengan sebuah rumah beratap rendah yang memanjang. Sementara pendopo terlihat lusuh dan nuansanya suram, rumah yang disebelahnya itu terlihat cukup terawat, walaupun tampilannya lebih mirip seperti tempat tinggal seniman. Di depan rumah itu, ada tempat duduk-duduk yang disusun melingkar, dan di dekat situ ada beberapa set poci teh yang ditata seperti barang dagangan. (Ya mungkin memang barang dagangan ya, soalnya di atas meja ada daftar harga minuman juga.)

Ada seorang bapak-bapak yang muncul, dan kemudian ibu saya bertanya apakah tempat ini terbuka untuk umum atau tidak. Saya lalu menjelaskan bahwa saya menemukan tempat ini di GoogleMaps dan datang kemari karena penasaran. Bapak yang menurut saya gayanya cukup nyentrik ini lalu menunjukkan channel YouTube milik Pesanggrahan Langenharjo. Dia lalu menawarkan untuk jalan-jalan masuk ke area pesanggrahan, namun harus ditemani oleh abdi dalem yang menggunakan selempang khusus sebagai tanda pengenal. Biaya masuk sukarela, bisa dibayar langsung ke abdi dalemnya. Ibu saya sempat ragu, tapi saya sih oke-oke saja. Kan memang belum pernah datang kemari.

Kami pun kemudian masuk ke area pesanggrahan setelah ada abdi dalem yang menemani kami. Pendopo di depan ternyata biasa digunakan untuk beberapa acara sosial dan menerima tamu. Di tempat yang nampak tua ini ternyata ada tamu? Kata bapak yang pertama kami temui, ada banyak orang yang datang ke sini. Mereka ke sini untuk melakukan latihan atau olah spiritual. Singkat kata, orang datang kemari untuk meditasi.

Tempat ini dibangun oleh Sultan Pakubuwono IX di tahun 1870. Namun konon, saat sebelum beliau menjadi raja, beliau sudah sering datang kemari untuk menyepi. Bahkan ada yang mengatakan beliau sempat tinggal di sini. Jadi, memang tempat ini awalnya dipakai untuk bermeditasi. Hingga sekarang, tempat ini masih menjadi tempat untuk bermeditasi.

Di masa pemerintahan Sultan Pakubuwono X, tempat ini diperbesar dan menjadi tempat peristirahatan kerajaan. Sultan dan keluarganya akan berwisata kemari, dan bisa jadi kegiatan plesir bersama tamu-tamu juga dilakukan di sini. Itulah sebabnya, oleh warga sekitar tempat ini dianggap sama seperti keraton, karena keluarga raja biasa berkunjung kemari.

Di masa pemerintahan Indonesia, tempat ini pernah menjadi tempat tahanan PKI, tempat menyimpan senjata tentara, sampai kemudian dikembalikan ke keraton. Saat ini, ada satu anggota keluarga keraton yang tinggal di sini. Rumah beratap rendah di dekat pendopo mungkin rumahnya dia, karena terlihat terawat dan dihuni.

Kembali ke jalan-jalan keliling pesanggrahan, masih satu gedung dengan pendopo, terdapat ruangan-ruangan yang bisa dipakai untuk meditasi. Ruangannya ada yang cukup besar dan ada yang lebih kecil. Yang jelas, nuansanya remang-remang di sini. (Mungkin juga karena ini pagi hari dan tidak ada lampu yang menyala.)

Nah, melewati ruangan-ruangan ini, kami tiba di halaman tengah. Walaupun halaman ini tanah berumput, namun tamu tidak boleh mengenakan alas kaki. Jadi jalan di tengah halaman ini dengan telanjang kaki ya.

Begitu keluar dari bangunan, kami menemukan bekas kolam berbentuk lingkaran. Bapak abdi dalem tidak menjelaskan apa-apa tentang kolam ini, namun menurut hasil browsing belakangan, ternyata tempat itu adalah tempat mandi permaisuri jaman dahulu. Namun sekarang tempat ini lebih mirip seperti pot raksasa yang kering.

Menempel pada gedung utama/pendopo tadi, ada bangunan dua tingkat. Di tingkat atas adalah kamar raja, dan di bawahnya adalah ruangan tempat sumur yang disebut sebagai Sumur Bandung. Untuk mencapai kamar raja di atas, bisa menggunakan dua cara, pertama lewat tangga di bagian belakang, kedua naik lift yang dikerek oleh para pegawai. Tentunya yang naik lift manual ini hanya raja ya. Kalau saya lihat di blog lain, ada yang diantar ke ruangan raja di atas. Tapi mungkin karena kami berdua perempuan dan tidak berminat dengan hal-hal berbau mistik ya, jadi tidak diantar ke sana. (Kan biasanya di lingkungan keraton ada area yang terlarang untuk perempuan atau terlarang untuk laki-laki kecuali raja.) Kamar raja di atas katanya adalah tempat favorit untuk bersemedi, apalagi kalau ada keinginan khusus.

Ruangan tempat sumur Bandung tempatnya cukup luas. Ada sebuah sumur dan ember yang tergantung pada katrolnya. Pak Abdi Dalem menimba air sambil menawarkan kepada kami untuk mencuci muka. Permukaan airnya tidak terlalu dalam, lho. Sebentar saja, air sudah berhasil diambil. Airnya jernih dan segar. Padahal, di area kampung sekitar sampai dengan perumahan di dekatnya, air sumur kualitasnya kurang baik.

Di dekat sumur, ada sesajen, lengkap dengan kendi dan bunga-bunga mawar. Di dinding ada papan petunjuk yang menginformasikan bahwa untuk yang mandi di sini dilarang menggunakan sabun, shampoo, atau bunga. Walaupun nampak tua, namun ruangan ini terlihat cukup bersih. Konon Sultan Pakubuwono IX biasa bersemedi di sini.

Di samping bangunan bertingkat ini, ada bangunan lain yang disebut sebagai dapur. Kami nggak kesana, karena sepertinya tempat itu masih dipakai. Mungkin kalau ada acara atau perkumpulan, tempat ini jadi tempat mempersiapkan jamuan para tamu.

Di belakang areal pesanggrahan, ada tempat pemandian. Katanya sih ada kolamnya, tapi saya tengok-tengok kok nggak ketemu kolamnya di mana. Yang ada adalah dua sumur, masing-masing dengan pipa penyalur air dan bangunan tempat mandi yang terdiri dari kamar-kamar mandi, lengkap dengan bak mandinya.

Katanya, sumur yang lebih tua sudah ada dari jaman Sultan Pakubuwono IX dan mengeluarkan air panas yang mengandung belerang. Karena inilah keluarga sultan senang pelesir kemari. Air panas belerang ini dianggap memiliki banyak khasiat. Tapi untuk beberapa waktu, sumur ini tidak berfungsi. Di tahun 2020, sumur yang baru digali di sebelahnya dan menghasilkan air belerang, tapi tidak panas.

Bangunan tempat mandi terbuka untuk umum dan pengunjung bisa mandi di sini. (Harusnya bayar tiket ya, tapi saya nggak tanya karena nggak minat juga.) Tapi ada satu ruangan mandi yang tertulis hanya untuk wanita, dan ada satu yang tertulis hanya untuk keluarga keraton.

Di halaman area pemandian ini, ada pohon beringin dan pohon sulastri. Pohon sulastri ini konon adalah pohon bertuah. Katanya, untuk yang masih single, kalau datang kemari dan menemukan daun yang jatuh “terlentang” (maksudnya melengkung ke atas), maka daun itu diambil lalu disatukan dengan daun yang jatuh “terlungkup” (melengkung ke bawah). Katanya kalau saat mengatupkan kedua daun itu orang berdoa dan berharap dengan khusyuk, maka jodoh akan datang. Benar atau tidak, ya tidak tahu.

Menurut saya, yang unik dari tempat ini adalah adanya sumur air jernih dan sumur air belerang yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Lebih unik lagi, semua sumur itu hanya seratus meter dari sungai, yaitu Bengawan Solo. Dan air Bengawan Solo itu nggak bersih ya. Mungkin yang harusnya tertarik dengan tempat ini adalah mahasiswa geologi.

Saya datang ke Pesanggrahan Langenharjo ini tanpa tahu sejarah dan fungsi gedung ini. Soal meditasi, apalagi ngalap berkah dan mencari jodoh, saya sama sekali tidak mengetahuinya. Namun dengan berkunjung kemari, saya jadi mengetahui salah satu aspek sejarah lokal kota Solo. Sejarah yang bukan hanya linimasa keluarga penguasa, namun juga budaya dan nilai-nilainya. Semoga saja kedepannya bangunan pesanggrahan ini lebih terawat dan tidak hanya dikenal orang sebagai tempat meditasi, namun juga tempat belajar budaya dan sejarah.

0 Komentar:

Posting Komentar