12 Maret 2016

Baru-baru ini saya bersama keluarga mengunjungi Museum Taman Prasasti. Taman prasasti? Apakah di sini ada prasasti? Bukan. Museum Taman Prasasti adalah kompleks pemakaman kuno, yang sudah dipakai sejak jalan penjajahan Belanda. Eitts, jangan khawatir, walaupun dulunya kuburan, tempat ini bukan tempat angker. Museum Taman Prasasti memamerkan koleksi batu nisan dari sejak abad ke-18, dimana orang dapat mempelajari sejarah dan budaya penduduk kota Batavia dari masa itu. Walau banyak nisan disimpan disini, namun kebanyakan jenazahnya sudah dipindahkan dan tidak ada di sini lagi.
Menurut selebaran yang didapat dari petugasnya, Museum Taman Prasasti ini tidak hanya sekadar museum tempat menyimpan barang bersejarah (dalam hal ini adalah nisan), namun juga menjadi daerah hijau bagi Kota Jakarta. Tidak salah juga. Duduk-duduk di sekitaran museum ini terasa adem, karena ada banyak pohon besar di sini.
Di dalam museum ini, nisan yang selama ini identik dengan kisah horor berubah fungsi menjadi sumber ilmu, buku kehidupan. Dengan melihat tulisan-tulisan di nisan, kita bisa mengintip kehidupan orang di masa lalu. Sambil berjalan di antara patung-patung dan batu-batu itu, saya melihat kisah seorang dokter bedah (yang nampaknya terkenal) yang meninggal di usia 36 tahun, seorang kelahiran New York yang meninggal di Batavia, seseorang kelahiran Batavia yang meninggal di sekitaran Bogor, putri seorang pejabat yang meninggal di laut saat berusia 21 tahun, dan bayi-bayi yang mati sebelum mungkin sempat belajar bicara.
Satu hal yang saya dapatkan dari membaca nisan-nisan yang ada di sini: harapan hidup orang jaman dulu memang tidak selama orang-orang di masa sekarang. Tehnologi kedokteran yang belum maju, moda transportasi yang masih terbatas, dan mungkin juga pola hidup yang kurang bersih membuat banyak kematian di usia yang relatif muda. Selain itu, saya menjadi semakin menyadari keragaman penduduk daerah Jakarta, bahkan sejak jaman dulu kala: nisan yang ada di sini memuat tulisan dalam berbagai bahasa: Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, Bahasa Melayu, aksara India, dan aksara Hebrew. Nama-nama yang tertulis, dan juga tempat kelahirannya juga memperlihatkan keragaman itu: Batavia, Karanganyar, Buitenzorg, New York, London, Amsterdam, dan juga dari tempat-tempat lain seperti India. Sudah seharusnya orang Jakarta lebih terbuka terhadap keragaman, soalnya keragaman sudah ada sejak dahulu kala!
Untuk yang ingin mengetahui siapa saja yang nisannya ada di sini, bisa masuk ke ruang pamer di sebelah kiri kompleks. Di ruang pamer ini, selain penjelasan kisah hidup beberapa orang ternama dan keluarga ternama yang pernah dikubur di sini, juga ada peta letak nisan dan maket kuburan tradisional dari seluruh penjuru Indonesia. Di sini kita bisa membaca kisah keluarga-keluarga kaya jaman dahulu seperti keluarga Cornelis Breekpot dan keluarga Jonatan Michielsz, kisah orang terkenal seperti Miss Riboet, dan orang-orang penting seperti H. F. Roll - pendiri STOVIA dan W.F. Stutterheim - seorang arkeolog.

Bagaimana caranya ke Museum Taman Prasasti?

Museum Taman Prasasti terletak di Jl. Tanah Abang 1, Jakarta Pusat. Letaknya relatif dekat dengan Museum Nasional. Untuk tiba di sini, kita bisa naik Transjakarta atau naik angkot dari Tanah Abang.
  • Kalau bus Transjakarta, turun di halte busway MonumenNasional (K1-14, bagian dari Koridor 1 Blok M – Kota). Dari situ, jalan sedikit sampai gedung Mahkamah Konstitusi, lalu ikut jalan kecil di sampingnya. Cari saja Jl. Tanah Abang 1 dan ikuti saja jalan ini sampai tiba di depan gerbang museum. Jalan kaki sekitar 15 menit. (Update 19 Oktober 2019: Bus Transjakarta yang lewat halte busway Monumen Nasional dapat dilihat di sini.)
  • Kalau naik mau angkot, pilih Mikrolet M08 jurusan Tanah Abang – Kota. Bilang ke sopirnya kalau mau turun di Museum Taman Prasasti. Biasanya akan diturunkan di belokan dekat gerbang masuk museum.

Keterangan lain:

  • Museum Taman Prasasti buka setiap hari kecuali hari Senin, dari jam 09:00 sampai 15:00.
  • Harga tiket masuk Rp 5.000,- untuk orang dewasa. Untuk mahasiswa dan anak-anak, sudah pasti lebih murah.
  • Tidak ada yang jualan makanan di dalam museum, tapi di sekitaran museum ada beberapa tempat makan seperti rumah makan sate dan warung masakan padang. 


0 Komentar:

Posting Komentar