29 Agustus 2016


Awal Juli yang lalu, saya akhirnya membulatkan tekat untuk solo traveling ke Hokkaido. Walau gaya jalannya gaya backpacker, tapi saya bawanya koper – jadi mungkin lebih cocok disebut solo traveling dibandingkan solo backpacking. Awal Juli adalah awal dari musim bunga di Hokkaido – dan tujuan saya ke Hokkaido memang untuk menikmati pemandangan penuh bunga di sini. Hokkaido adalah pulau yang sangat cantik di musim panas, dimana bunga-bunga yang berwarna-warni mulai mekar.
Salah satu ladang bunga di Hokkaido : Farm Tomita, Furano.
Dari Indonesia, saya tiba di Jepang di Bandara International Narita Tokyo. Dari Narita, saya naik bus ke bandara Haneda Tokyo. Dan dari Haneda, saya langsung naik pesawat ke bandara Chitose, Sapporo. Yak, Sapporo adalah kota persinggahan pertama saya di Hokkaido.
Bandara Chitose sendiri letaknya sebenarnya tidak bisa dikatakan dekat dengan Sapporo. Dari bandara saya masih harus naik kereta selama 30 menit untuk tiba di Stasiun JR (Japan Railway) Sapporo. Habis itu, saya masih harus menyambung kereta bawah tanah (chikatetsu atau subway) sekitar 5 menit dan ditambah jalan kaki sekitar 15 menit ke hotel. (Setelah keesokan harinya jalan kaki muter-muter sekitaran hotel, baru menemukan bahwa sebenarnya jarak antara hotel dan Stasiun JR Sapporo hanya setengah jam jalan kaki. Lumayan dekat juga!)
Saya menginap di Khaosan Sapporo Family Hostel. Saya menginap di dorm room yang khusus wanita. Sekamar ada 4 orang. Hostel ini bersih dan menyenangkan. Mereka mempekerjakan para backpacker yang menginap jangka panjang di situ, dengan imbalan potongan harga kamar. Jadi, waktu saya datang ke resepsionis, saya disapa oleh seorang mbak-mbak Australia yang pernah tinggal selama sekitar sebulan di Bali.
Salah satu sudut Odori Park, Sapporo, di sore hari.
Saya hanya menginap di Sapporo selama semalam, karena keesokan hari saya sudah harus berangkat lagi ke tujuan utama saya, yaitu kota Furano. Dan karena saya akan menginap di tempat yang relatif terpencil dan transportasinya terbatas, maka saya tidak bisa berangkat terlalu sore. Untungnya, karena saya mengambil penerbangan siang, di hari pertama ini maka saya sudah tiba di hotel sekitar jam 18:30. Karena saya tiba di musim panas, maka matahari baru terbenam di jam setengah delapan. Lumayan, jadi saya masih bisa jalan-jalan di sekitaran hotel sambil foto-foto sebelum gelap.
Untuk menghabiskan waktu di satu-satunya malam dimana saya menginap di Sapporo, saya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran Odori Park. Odori Park adalah taman kota yang merupakan jantung Kota Sapporo. Taman kota ini merupakan tempat berbagai aktivitas kota, termasuk pameran bunga di musim panas dan festival salju di musim dingin. Saya datang di awal musim bunga, jadi memang belum ada acara-acara yang heboh di Odori Park. Jarak Odori Park ke hotel hanya sekitar 20 menit jalan kaki.
Odori Park sebenarnya adalah lahan hijau yang berada di tengah jalan raya. Cuma, karena lahan hijau ini cukup lebar, makanya bisa disebut sebagai suatu taman. Panjangnya sekitar 1,5 kilometer, dan di sekitar sini terdapat banyak gedung penting dan landmark kota Sapporo.
Landmark yang paling terkenal di Odori Park adalah Sapporo TV Tower. Bentuknya mirip Tokyo Tower yang terkenal itu, cuma lebih pendek. Sebetulnya, orang bisa naik ke observation deck-nya dan menyaksikan Sapporo dari ketinggian. Akan tetapi, karena sebetulnya saya lumayan capek karena kurang tidur selama perjalanan Jakarta – Tokyo, jadi saya cuma foto-foto di dekat situ saja.
Odori Park, dengan Sapporo TV Tower di ujungnya.
Odori Park di malam hari ramai dengan orang-orang yang bersantai dan turis-turis yang sibuk foto-foto. Mungkin karena saya tiba di hari Minggu, jadi nuansa liburnya terasa. Waktu saya datang, orang-orang sedang menutup tenda-tenda penjual minuman dan tanaman. Kalau saya datangnya lebih awal, mungkin saya masih merasakan meriahnya tenda-tenda penjual tersebut.
Walau Odori Park asyik banget untuk jalan-jalan, dan banyak spot-spot yang lucu untuk foto-foto, namun karena saya sudah lapar dan capek, saya jadinya buru-buru cari makan dan pulang. Biar praktis (dan murah), saya beli makan malam di Lawson dan makannya di dapur hotel. Buat yang memang anggaran wisatanya tidak termasuk makan-makan mewah, makanan di Lawson dan Seven Eleven adalah pilihan paling tepat.
Keesokan harinya, sekitar jam setengah sembilan pagi, saya kembali jalan-jalan ke Odori Park, untuk mengeksplorasi bagian-bagian yang belum sempat saya kunjungi di malam sebelumnya. Itu hari Senin pagi, tanggal 4 Juli 2016. Karena memang tujuannya jalan santai, saya bahkan sempat duduk-duduk di kursi taman sambil melihati orang-orang kantoran yang berjalan cepat menuju ke tempat kerja masing-masing. Karena tidak ada makan pagi di hotel, jadinya saya makan onigiri yang dibeli di Lawson. Orang lain yang juga duduk-duduk di sekitaran taman adalah kakek nenek yang mungkin sudah tidak ada kerjaan lagi. Yah, saya jadinya menikmati waktu liburan seperti seorang pensiunan menikmati hari-hari tuanya.
Sapporo City Archive Museum di Odori Park.
Kalau di ujung timur Odori Park ada Sapporo TV Tower, maka di ujung barat terdapat Sapporo City Archive Museum yang menyimpan dokumen-dokumen bersejarah Kota Sapporo. Berhubung kemampuan membaca kanji saya mendekati nol besar, maka saya tidak berminat untuk melihat dokumen-dokumen tersebut. Jadinya saya hanya berputar-putar di kebun bunga di depan museum. Kebun bunga ini menarik, karena diisi oleh bunga mawar persahabatan dengan negara-negara lain, seperti Amerika dan Jerman. Untung juga datang di musim panas, jadi saya bisa melihat bunga-bunga mawar itu mekar.
Karena tadinya saya berencana untuk ambil kereta jam 12 siang menuju Furano, maka saya sebetulnya cuma mau muter-muter di Odori Park saja pagi ini. Akan tetapi, karena sekitar jam 10 kurang saya sudah bosan, saya lalu browsing internet untuk mencari tempat wisata yang bisa dicapai dengan cepat. Dan munculah informasi tentang Shiroi Koibito Park.
Shiroi Koibito Park adalah taman wisata yang mempromosikan cokelat dengan merk dagang Shiroi Koibito. Kalau naik kereta, jarak Sapporo City Archive Museum ke Shiroi Koibito Park hanya setengah jam. Nah, dengan pertimbangan mumpung sudah di Sapporo – dan belum tentu bakalan datang ke sini lagi, maka saya memutuskan untuk berangkat ke Shiroi Koibito Park. Jadwal berangkat ke Furano diundur, jadinya naik kereta jam setengah tiga sore.
Singkat cerita, saya berangkat menuju ke Shiroi Koibito Park. Lucunya, sebenarnya tempat ini saya masukkan ke dalam daftar kunjungan yang diajukan saat pembuatan visa ke Jepang. Tapi, setelah mempelajari lebih lanjut jaringan transportasi di Furano, saya jadinya mengeluarkannya dari daftar kunjungan. Eh ... di detik-detik terakhir, ternyata jadi juga kemari. Oh ya, biasanya orang yang datang ke Sapporo akan mengunjungi Shiroi Koibito Park dan Sapporo Beer Museum. Karena keterbatasan waktu, saya cuma bisa memilih salah satu. Sudah pasti saya lebih memilih makan cokelat mahal dibandingkan minum bir rakyat biasa. Huahaha!
Gerbang masuk Shiroi Koibito Park.
Shiroi Koibito Park dapat dicapai dengan berjalan kaki sekitar 10 menit dari Stasiun Miyanosawa. Bangunannya cukup mencolok, dari jauh sudah terlihat seperti bangunan dari negeri dongeng. Tadinya saya pikir tempat ini bakalan sepi karena ini hari Senin. Tapi salah, saudara-saudara! Beberapa rombongan turis Cina, keluarga-keluarga muda Jepang dengan anak-anak kecil, dan juga rombongan turis Indonesia memenuhi taman ini. Kebetulan saya datang di musim panas, jadi bunga-bunga bermekaran dengan indahnya. Betul-betul serasa berada di negeri dongeng!
Di sini saya mencoba sofuto, alias sofuto kurimu atau es krim super lembut, yang merupakan produk khas Hokkaido. Tentunya sofuto di sini rasanya rasa cokelat. Saya mencoba rasa white chocolate & black chocolate, dan rasanya bener-bener rasa cokelat! Kan kalau di Indonesia, es krim rasa cokelat tetap terasa manis gula yah. Tapi es krim di sini rasanya bener-bener rasa cokelat. Sumpah, enak banget!
Di taman ini juga dijual berbagai produk-produk cokelat dengan merk Shiroi Koibito. Berhubung harga-harganya nggak cocok dengan pola jalan backpacker, maka saya hanya membeli beberapa produk kecil untuk oleh-oleh adik saya yang tinggal di Tokyo. Satu kotak cokelat yang isinya cuma tiga batang kecil saja harganya 390 yen atau Rp 50.000,- untuk kurs saat saya berada di sana. Itupun yang paling murah – karena kotak lain dengan ukuran yang sama harganya bisa lebih dari 500 yen. Yang kotak-kotak besar harganya bisa ribuan yen. Maklum, dengan anggaran backpacker, saya harus banyak berhemat. Tapi jujur saja, harga cokelat merk Shiroi Koibito di sini tetap lebih murah dibandingkan dengan harga di toko-toko luaran, apalagi dibandingkan dengan di bandara. Dan untuk kualitas cokelatnya yang memang okeh banget, sebenarnya harganya bisa dibilang murah.
Es krim!
Tadinya saya cuma mau menghabiskan waktu setengah jam di Shiroi Koibito Park. Eh ... jadinya satu jam saya muter-muter di situ. Begitu ingat saya harus mengejar kereta ke Furano, buru-buru saya kembali ke Odori Park untuk kemudian jalan kaki ke hotel. Nah, karena buru-buru, saya salah baca GoogleMaps. Harusnya saya jalan ke selatan, eh, saya malahan jalan ke utara. Saya baru nyadar saya salah jalan waktu saya melewati area yang banyak pohonnya. Buka lagi GoogleMaps ... oops! Terpaksa balik arah dan jalan buru-buru menuju hotel. Jam setengah satu sampai stasiun Sapporo dan segera cari tempat beli tiket kereta. Untung memang rencananya ambil kereta yang jam setengah tiga sore, jadi masih ada waktu untuk makan siang di stasiun.
Untuk naik kereta dari Sapporo ke Furano, saya harus transit di Stasiun Takikawa. (Kalau berangkat pagi, sebetulnya ada yang langsung ke Furano, tapi artinya saya nggak bisa jalan-jalan di Sapporo, dong.) Nah, saya cuma punya waktu 5 menit untuk pindah jalur kereta di Stasiun Takikawa. Dengan asumsi bahwa umumnya, di stasiun kereta api di Hokkaido, untuk pindah jalur kita harus naik jembatan penyeberangan (di atas rel) dan tidak ada lift atau eskalator, maka artinya saya harus lari-lari bawa koper plus mengangkatnya naik turun tangga dalam waktu 5 menit itu. Sepanjang perjalanan saya cuma bisa berdoa semoga saya nggak nyasar waktu mengejar kereta.
Sampai di Stasiun Takikawa, saya buru-buru angkat koper dan lari naik turun tangga untuk pindah ke jalur berikutnya. Untungnya, di stasiun dengan beberapa jalur kereta itu, selain kereta yang saya naiki, cuma satu kereta lain yang terlihat – yang hanya terdiri dari dua gerbong. Dengan jarak keberangkatan yang cuma lima menit, sudah pasti kereta itu yang harus saya naiki. Jadi, tanpa banyak tanya-tanya, saya langsung tancap gas masuk ke kereta itu. Begitu saya di dalam, barulah saya tanya ke masinisnya apakah kereta ini lewat Furano. Saya langsung merasa lega waktu masinis mengiyakan pertanyaan saya itu. Dan persis saya selesai bertanya, kereta pun berangkat.
(Bersambung.)

Pemandangan di perjalanan menuju Furano, diambil dari kereta.

9 Komentar:

  1. paling suka kalau baca cerita perjalanan begini nih, lengkap, feel travelingnya juga dapet banget!
    Pengen deh nyicip Shiroi Koibito, coklat mahal. hihi

    BalasHapus
  2. Waw solo traveling. Traveling ke sini enak juga kalo bawa bayi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sapporo adalah kota terbesar di Hokkaido, jadi fasilitasnya lengkap. Nggak masalah kalau mau bawa bayi dan anak-anak ke sini. Yang penting cuacanya pas.

      Hapus
  3. Mba kalau dari sapporo ke ashahikawa naik apa ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pakai kereta JR saja. Cek jadwalnya di http://www.hyperdia.com/

      Hapus
  4. Terima kasih banget atas infonya. Merancang ke Hokakido Disember tahun hadapan.

    BalasHapus