20 Desember 2016

Bulan September yang lalu, saya dapat tugas kantor ke Makassar. Berhubung tugas kantor, dan saya di sana hanya semalam, nggak banyak tempat yang bisa saya kunjungi. Apa boleh buat, namanya juga kerjaan. Tapi paling tidak, saya bisa duduk di dalam bandara Sultan Hasanuddin yang sudah direnovasi habis-habisan di tahun 2008. Sebetulnya di tahun 2008 saya sempat mencicipi bandara ini, tapi saya tidak berkunjung ke Kota Makassar, soalnya waktu itu saya cuma transit doang, dari Ambon ke Jakarta.
Balik ke Bulan September tahun ini. Saya datang dari Jakarta dan tiba di Bandar Udara Sultan Hasanuddin dengan pesawat yang lumayan pagi. Tiba di Makassar sekitar jam 8 pagi (kalau nggak salah ingat). Saya sempat bingung, gimana caranya ambil taksi untuk ke arah Kota Makassar. Untung mas-mas petugas yang baik mengarahkan saya ke lantai dasar. Ternyata, untuk ambil taksi, kita harus turun ke lantai bawah.
Persis pas tiba di ujung turunan tangga, saya menemui semacam mesin jual otomatis dimana di layar komputer terdapat nama-nama perusahaan taksi. Menurut petunjuknya, kita harus memilih taksi mana yang kita inginkan, pencet tombolnya, dan akan muncul secarik tiket antrean untuk perusahaan tersebut. Tentunya itulah hal yang kemudian saya lakukan. Belakangan saya tahu kalau mesin itu nggak terlalu guna: banyak penumpang yang langsung todong ke petugas taksi di pinggir jalan untuk dapat naik taksi yang diinginkan.
Nah, tentunya memilih taksi yang mau diambil juga menimbulkan kebingungan tersendiri.  Waktu saya memilih-milih nama perusahaan yang terpampang di layar, saya hanya bisa tertegun karena ... saya tidak kenal nama-namanya. Satu-satunya petunjuk di situ adalah informasi tentang taksi mana yang pakai argo dan taksi mana yang harganya sudah dipatok berdasarkan zona tujuan. Berhubung berdasarkan GoogleMaps kantor tujuan saya letaknya lumayan jauh (sudah dekat pelabuhan) dan ada kemungkinan macet, maka saya memilih taksi yang bayarannya berdasarkan zona. Macet-nggak macet bayarannya sama. Plus, biaya sudah tertera di tiket jadi bisa di-reimburse ke kantor. Kan ini biaya kantor.
Pas sudah masuk ke taksi, saya tinggal duduk manis saja ... sampai pas tiba di gerbang tol, si sopir membuang karcis tol yang diberikan oleh petugas. Lho? Si sopir menjawab santai, “Saya kira tidak perlu karcis tol.” Waduh, nggak bisa reimburse ke kantor nih ...  Ya sudah lah, yang penting sampai.
...
Pas pulang ke Jakarta, saya sengaja ambil pesawat yang pagi. Soalnya saya masih harus ke kantor siangnya. Biar masih bisa menyelesaikan satu tugas, saya pulang lumayan pagi. Pagi-pagi buta saya sudah pesan taksi dari hotel, soalnya takut macet. Jadinya saya tiba di bandara kepagian. Ya sudahlah. Paling tidak saya masih bisa foto-foto situasi di sekitar bandara.
Bandara Sultan Hasanuddin adalah salah satu hub penting untuk penerbangan di Indonesia Timur. Banyak penerbangan ke arah timur yang transit di Makassar. Makassar sendiri adalah kota bisnis yang penting bagi peredaran barang-barang di Indonesia Timur. Jumlah maskapai yang terbang ke bandara ini cukup banyak, dan penerbangan rutin juga tak kalah banyak.
Ruang tunggu bandara di sini cukup nyaman. Ada kafe, tempat makan, tempat refleksologi, penjual oleh-oleh dan barang khas tradisional, serta pameran seni. Waktu saya di sana, sedang ada pameran lukisan. Atap ruang tunggunya unik, melengkung-lengkung seperti ombak. Dengan saya sempat jalan-jalan ke luar bandara untuk foto-foto, masih bisa muter-muter main Pokemon Go, dan duduk letoy sambil ngantuk-ngantuk, paling tidak saya bisa benar-benar menikmati bandara ini.

Jadi, walaupun saya tidak terlalu banyak muter-muter di kota Makassar, paling tidak saya sudah cukup puas menjelajahi Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar.

0 Komentar:

Posting Komentar