16 Mei 2020

Karena sekarang nggak bisa kemana-mana, jadinya saya bongkar-bongkar foto-foto lama untuk dijadikan inspirasi. Eh, tiba-tiba baru nyadar kalau saya belum pernah menulis tentang Museum Bank Mandiri. Padahal saya termasuk orang yang cukup sering ke sana, lho.

Museum Bank Mandiri letaknya persis di seberang halte busway (BRT) Kota, yang beralamat di Jl. Lapangan Stasiun No. 1 Jakarta Barat. Kenapa disebut jalan Lapangan Stasiun? Karena sebelum dibangun halte busway, area di depan Museum Bank Mandiri adalah lapangan merangkap halaman Stasiun Kota. Buat catatan, bangunan ini mulai dipakai di tahun 1933, yang mana waktu itu daerah Kota adalah pusat bisnis dan politik Belanda. Jadi lokasinya strategis banget.

Jendela kaca patri yang menjadi salah satu daya tarik Museum Bank Mandiri.

Lokasi gedung ini sangat strategis. Tentu saja, karena dulunya gedung museum ini adalah kantor dari Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) yang merupakan perusahaan dagang swasta milik pemerintah Belanda yang mengelola kegiatan bisnis antara Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda. Kedengarannya seperti pekerjaannya Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC, ya? Tepat sekali, karena memang NHM ini hampir bisa dikatakan merupakan penggantinya VOC, hanya saja tidak memiliki otoritas bagaikan negara seperti VOC. Tak heran bisa punya gedung mewah; kekayaan Kerajaan Belanda saat itu termasuk ditentukan oleh faktor keberhasilan bisnis NHM.

Museum Bank Mandiri sendiri didirikan di tahun 1998. Museum ini adalah milik Bank Mandiri. Pada saat itu, Bank Mandiri baru saja berdiri sebagai hasil merger beberapa bank akibat restrukturisasi perbankan. Untuk yang belum tahu, tahun 1998 adalah tahun dimana perekonomian Indonesia dan dunia jatuh, yang mana sering juga disebut sebagai Krisis Moneter. Selain banyak perusahaan bangkrut, termasuk perbankan, huru-hara dan tindak anarkis juga sempat terjadi di tahun ini. Saat beberapa bank digabung menjadi Bank Mandiri, asetnya (termasuk gedung) juga menjadi milik Bank Mandiri.

Banking hall yang klasik.

Gedung museum ini tadinya milik Bank Export Import, dan begitu menjadi milik Bank Mandiri, fungsinya langsung dialihkan menjadi museum. Jujur saja sih, menurut saya pengalihan fungsi menjadi museum adalah hal yang sangat tepat. Bukan apa-apa, gedung cagar budaya ini tidak bisa sembarangan direnovasi, tidak kompatibel dengan perkembangan jaman (termasuk perkembangan ketentuan mengenai khasanah bank, kegiatan operasional transaksi, dan juga perkembangan teknologi), apalagi lokasinya di daerah di mana pajak tanah mahal. Kalau dijadikan cabang operasional bank, kayaknya nggak menguntungkan juga ya? (Eh, ini pendapat saya pribadi ya.)

Saya pertama kali masuk ke Museum Bank Mandiri di awal tahun 2000-an. Waktu itu, penataan museumnya tidak seperti sekarang. Semuanya dibiarkan apa adanya. Semua tangga dan pintu di area museum bisa dilewati. Jadi, dulu sering banget saya mondar-mandir melewati tangga yang ruangannya gelap dan pengap, terus melewati daerah khasanah (brankas) yang udaranya lembab. Barang-barang macam tropi, emblem, dan penghargaan bank-bank yang bergabung menjadi Bank Mandiri dipajang seadanya di etalase kaca. Komputer dan mesin kuno yang dulunya dipakai di bank-bank ditaruh begitu saja di atas meja atau etalase kaca.

Dulu, yang paling saya suka adalah berjalan-jalan di dekat meja-meja makan mewah tempat direksi bank sebelumnya makan, dan juga mengintip ke kamar mandi khusus direksi yang ukurannya hampir sebesar unit apartemen! Sedangkan daerah yang paling horor untuk dilewati adalah sebuah tangga kecil yang masuk ke sebuah lorong gelap serta sempit dari daerah brankas ke area transaksi di bagian samping. Sekarang semua area yang saya sebutkan ini sudah tidak bisa dilewati sembarangan.

Area back office di tahun 2020.
Area back office di tahun 2012.

Oh ya, dulu daerah brankas juga apa adanya saja. Pertama kali saya masuk ke daerah brankas, ruangannya remang-remang, beberapa lemari terlihat kumuh, dan ada bau-bau lembab yang tidak menyenangkan. Kesannya seperti masuk ke tempat shooting film horror. Terakhir saya kemari adalah di bulan Februari 2020. Waktu ini, daerah brankas sudah terang benderang, rapi, dan tidak berasa lembab. Orang juga suka foto-foto di sini untuk diposting di medsos. Jaman awal museum ini buka, orang biasanya lewat saja dan buru-buru ke daerah ruang layanan nasabah (tempat nasabah membuka safe deposit box) karena nggak enak banget berada di ruang khasanah. Boro-boro foto-foto.

Oh ya, terakhir saya datang di bulan Februari 2020 itu, saya juga melihat adanya tambahan diorama kegiatan perekonomian, dimana ada bagian yang menggambarkan kedatangan VOC, Cultuurestelsel (tanam paksa), dan pendirian Bank Mandiri. Jadinya rasanya sama seperti di Museum Bank Indonesia yang penataannya cukup modern.

Gedung museum ini memiliki halaman di tengah-tengah gedung. Saat ini, taman tengah ini dijadikan tempat kegiatan dan aktivitas sosial. Dulunya sih cuma tempat terbuka dimana pengunjung bisa jalan-jalan sambil terkena sinar matahari. Sebetulnya menarik juga desain gedung dengan taman di tengahnya begini. Bisa dikatakan semua bagian gedung terkena sinar matahari jadi tidak mudah lembab.

Nah, buat yang belum pernah datang ke Museum Bank Mandiri dan ingin berkunjung, apa yang bisa diharapkan untuk dilihat di sana? Yang jelas, kita bisa melihat sejarah singkat perkembangan perekonomian nasional dan sejarah perkembangan Bank Mandiri. Bank Mandiri sendiri saat ini adalah bank terbesar di Indonesia dalam hal jumlah aset. Selain itu, kita juga bisa melihat perkembangan teknologi yang digunakan oleh perbankan. Dari buku jurnal yang besar banget, mesin hitung semi otomatis, sampai komputer IBM yang harus dioperasikan dengan disket berisi program DOS.

Mesin ketik yang pernah dipakai di bank jaman dahulu. Foto tahun 2020.

Area pameran mesin ketik tahun 2012.

Buat yang ingin mempelajari tentang perkembangan produk perbankan seperti perubahan bentuk bilyet giro, deposito, dan juga uang dari masa ke masa, museum ini adalah tempat yang tepat untuk dikunjungi. Bukan apa-apa, kita bisa melihat contoh nyatanya di sini. Walaupun untuk hal uang, koleksinya tidak secanggih museum Bank Indonesia, tapi untuk koleksi contoh lembar cek dan giro, bukti deposito, bahkan bukti kepemilikan saham jaman dulu, museum ini masih oke.

Pertama kali pengunjung masuk, mereka akan diarahkan ke banking hall, yaitu tempat utama transaksi, dimana nasabah bertemu dengan teller atau customer service. Di balik meja teller (atau kasir) terdapat ruangan yang cukup luas, dimana dulunya staf back office (maksudnya tenaga administrasi pendukung transaksi) bekerja mencatat dan memeriksa transaksi yang dilakukan di depan.

Setelah melewati banking hall, pengunjung akan diarahkan untuk ruang diorama dimana pengunjung bisa melihat gambaran kondisi sejarah perekonomian negara, dari jaman Hindia Belanda hingga sekarang. Setelah itu, pengunjung bisa turun menuju ke ruang khasanah atau brankas.

Pintu masuk ruang brankas.

Brankas jaman Belanda yang besar banget di bawah tanah tadinya adalah tempat penyimpanan uang, emas, barang berharga lain, dan juga menjadi tempat safe deposit box bagi nasabah. Ruang khasanah ini gede banget, seperti ruang khasanah bank sentral. Wajar sih, kan NHM dulu perannya plus minus seperti bank sentral sekarang. Dari situ, pengunjung bisa naik ke tempat pameran lain.

Lantai dua adalah tempat pameran kontemporer. Terakhir saya berkunjung, di situ saya melihat pameran replika karya Leonardo Da Vinci. Saat naik tangga, pengunjung akan bisa melihat stained glass window, alias jendela kaca patri yang besar banget dan indah. Ini adalah area yang paling sering dipakai untuk foto-foto di museum ini. Nah, kalau datang lantai dua, bisa melihat lorong ke arah kiri dan kanan yang ujungnya dipagar teralis. Dulunya sih pengunjung suka mondar-mandir di lorong itu. By the way, lorong itu mengingatkan saya pada salah satu adegan di film Gundala. Hahaha.

Lorong di lantai dua.

Sayang sekali foto-foto saya jaman dulu sudah tidak bisa dibuka lagi. (Fotonya disimpan di CD dan sekarang CD-nya sudah tidak bisa digunakan lagi.) Jadi saya sudah jarang memiliki foto-foto Museum Bank Mandiri jaman dulu. Padahal kalau ada, bisa dibandingkan foto jaman dulu dan sekarang. Tapi yang jelas, museum Bank Mandiri, meskipun gedung tua, saat ini sudah tidak ada kesan horror dan kuno. Nuansanya malahan terkesan tua namun mewah. Mungkin karena terawat ya.

Untuk yang ingin datang ke Museum Bank Mandiri setelah wabah corona selesai, bisa datang ke mari setiap hari, kecuali hari Senin. Khusus Sabtu dan Minggu museum ini buka sampai jam 18:30. Tapi dengan catatan corona sudah berlalu ya. Semoga wabah ini segera berakhir dan kita bisa jalan-jalan lagi. Kalau kondisi sudah normal lagi, jangan lupa jalan-jalan ke museum ya. Biar kita tidak lupa sejarah.

8 Komentar:

  1. Unik penataan koleksi mesin tiknya tuh, didekor seakan pada nempel bertebaran ..

    Dari dulu berkali2 aku lewat museum di seberang stasiun Jakarta Kota ini tapi kok entah punya rasa deg2an duluan, jadinya selalu ngga jadi.
    Dilihat dari foto, kesan muramnya masih kerasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin karena bangunannya lama, ya. Pemilihan warna jaman dulu memang lebih muram.

      Hapus
  2. Jadi kangen Kota Tua Jakarta, ngunjungi satu demi satu museum yang ada di sana, dan saat udah capek, istirahat di Taman Fatahillah sambil liatin orang-orang.

    Wah... Kayaknya udah ada yang beda ama Museum Bank Mandiri, jadi penasaran pengen ngunjunginya lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau sudah lama banget nggak berkunjung kemari, bakalan kerasa bedanya. Sekarang museum Bank Mandiri sudah lebih modern.

      Hapus
  3. Wah ada mesin ketik.. saya belajar ngetik awal dari barang jadul ini..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahahaha ... saya SD mengetik laporan study tour pakai mesin tik.

      Hapus
  4. saya suka saya suka ke tempat2 begini nih trs tanya2 sejarahnya gmn... Tadinya kepikiran bank mandiri kan baru, kok udh pny museum hehe.
    Dari bekas bank eksim ternyata dan mandiri kan gabungan 4 bank kalo gak salah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, benar! Bank Mandiri adalah kumpulan bank-bank tua, jadi wajar kalau punya gedung kuno di mana-mana, termasuk di Kota, Jakarta.

      Hapus