9 Februari 2021

Berhubung weekend akhir-akhir ini cuma bisa di rumah saja, YouTube jadi salah satu aplikasi favorit yang dibuka di Sabtu santai. Salah satu channel favorit kebetulan membahas tentang safron. Jadi penasaran dengan rempah satu ini. Nah, atas dasar itulah suatu saat saya memutuskan untuk mencoba membeli safron.

Safron disebut-sebut sebagai rempah termahal di dunia. Kalau baca di salah satu artikel Insider, harga 1 kilogram safron bisa mencapai sekitar USD 10.000 alias Rp 140.000.000,- menurut kurs sekarang. Walau yang menulis artikel ini orang Amerika, dimana barang-barang asal Iran dan Afghanistan lebih susah masuk, perkiraan harga ini masih cukup valid. Kalau lihat-lihat di aplikasi penjualan online di Indonesia, harga safron asli per gram memang di kisaran seratus ribuan. Makanya ada yang jual per ½ gram supaya harganya lebih terjangkau.

Jadi orang beli safron cuma ½ gram? Iya, toh orang di Indonesia umumnya pakai safron untuk seduhan, bukan buat bumbu masak ayam atau campuran nasi. Kalau lihat di channel YouTube, buat emak-emak Timur Tengah sana, safron ½ gram cuma buat bikin nasi kebuli buat satu keluarga sekali makan.

Segelas seduhan safron.

Berhubung saya nggak masak pakai safron, jadinya saya cuma nyobain beli safron 0,5 gram saja. Barang pesanan datang dalam kaleng yang tertutup rapat. Begitu kalengnya dibuka, bau wangi langsung memenuhi ruangan. Memang safron terkenal memiliki bau yang harum. Nggak nyangka, ternyata baunya memang wangi banget!

Penasaran dengan rasanya, saya lalu mencoba menyeduh safron. Sesuai petunjuk dari penjualnya, saya menaruh tiga helai safron pada segelas air panas. Helai-helai ini mengambang dan berputar-putar di atas air. Pertamanya sih nggak ada reaksi apa-apa. Lama kelamaan, ada warna kekuningan keluar dari safron yang lama-kelamaan menyebar. Setelah didiamkan beberapa lama, air seduhan menjadi berwarna kuning keemasan. Sepertinya sudah siap diminum.

Air seduhan safron aromanya menyegarkan. Rasanya sih ya rasa tanaman, seperti kalau kita minum seduhan bunga mawar, krisantinum, atau teh. Tapi nggak ada rasa pahitnya. Yang jelas, wangi. Pantas saja banyak yang suka minum air seduhan safron. Konon kabarnya, safron memiliki efek penyembuhan dan berguna sebagai anti-depresan. Saya sih nggak merasa dampak apa-apa setelah meminum segelas seduhan safron, ya. Tapi yang jelas aromanya yang wangi memang menyenangkan hati.

Menurut informasi dari penjualnya, safron memiliki efek yang baik untuk kesehatan. Selain berfungsi untuk terapi melawan depresi, safron juga bisa mengurangi insomnia, mengurangi gejala PMS pada wanita, melegakan pernafasan, mengurangi resiko kanker, dan menyehatkan kulit. Safron mengandung zat yang disebut sebagai safranal yang dipercaya memiliki banyak khasiat. Safron sendiri sudah digunakan sejak ribuan tahun lalu sebagai bumbu makanan, obat, dan juga pewarna pakaian. Namun penggunaan safron per hari harus dibatasi. Jika digunakan secara berlebihan, malahan bisa jadi racun.

Produsen terbesar safron adalah Iran. Sebanyak 90% produksi safron di dunia diproduksi di Iran. Namun karena sempat ada embargo ekonomi, banyak safron Iran yang dijual ke tempat lain lalu diberi label sebagai safron lokal, misalnya di Spanyol atau Afghanistan, dan kemudian baru dijual ke berbagai negara. Negara lain yang merupakan produsen besar Safron adalah Afghanistan.

Perkebunan safron di Iran sebagian besar terletak di daerah timur, terutama di provinsi yang disebut sebagai Razavi Khorasan. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Afghanistan yang juga merupakan produsen safron. Daerah subtropis dimana matahari bersinar cerah dan hangat memang merupakan tempat ideal untuk menanam safron. Umumnya safron dipanen di pertengahan musim gugur. Disebutkan bahwa ladang safron sangat indah karena bunga-bunganya yang berwarna ungu mekar di saat bunga-bunga lain sudah mulai layu.

Safron adalah putik dari bunga spesies Crocus sativus, yang diperkirakan berasal dari sekitaran Irak atau Mesopotamia. Warna bunga ini adalah ungu, dengan benang putik yang berwarna merah, dan dasar putik yang berwarna kuning. Spesies Crocus sativus adalah tanaman yang bergantung pada intervensi manusia, artinya tanaman ini tidak dapat berkembang biak sendiri, dan tidak ada di alam liar. Petani hanya dapat mengembangbiakkan tanaman ini dengan cara membagi umbinya setelah berusia beberapa tahun. Diperkirakan, Crocus sativus adalah hasil mutasi akibat kawin silang dari tanaman Crocus cartwrightianus yang berasal dari Yunani. Sangat mungkin, spesies ini “tercipta” akibat percobaan manusia melakukan kawin silang dan pembuahan buatan terhadap berbagai tanaman dari genus Crocus yang mungkin sekarang sudah punah. Nah, Crocus sativus adalah tanaman yang memiliki tiga set kromosom dan bagian jantannya steril, sehingga dengan demikian tidak dapat melakukan pembuahan.

Karena tanaman penghasil safron tidak dapat berkembang biak sendiri, maka seluruh proses penanganan tanaman, dari pembibitan sampai panen, harus dijalankan dengan hati-hati. Saat mulai ditanam, diperlukan banyak air atau hujan, namun begitu bunga mulai muncul kondisinya tidak bisa terlalu lembab. Tanaman ini tidak tahan cuaca panas, tapi butuh sinar matahari yang banyak. Safron tidak akan berbunga dengan baik jika berada di bawah bayang-bayang tanaman lain. Jarak antar tanaman pun harus cukup jauh. Bunganya juga hanya mekar sekali di pagi hari dan akan segera layu di siang harinya.

Proses panennya sendiri luar biasa. Ladang safron hanya berbunga di kurun waktu sekitar dua mingguan. Pagi-pagi begitu matahari terbit, banyak orang langsung bergerak memetik bunga Crocus sativus dengan hati-hati. Sebelum jam 9 pagi, seluruh bunga yang mekar hari itu harus sudah dipetik supaya kualitasnya terjaga. Kemudian helai putiknya yang berwarna merah dipisahkan dari bagian bunga yang lain. Setelah itu, safron dikeringkan. Katanya, kalau di Iran proses pengeringan menggunakan oven sedangkan petani di Afghanistan menggunakan sinar matahari. Selama sekitar dua mingguan, hal yang sama dikerjakan terus-menerus sampai semua bunga sudah mekar dan dipanen. Semuanya dikerjakan secara manual.

Untuk menghasilkan 1 kg safron kering, diperlukan sekitar 150.000 bunga. Dengan berbagai kondisi yang harus dipenuhi untuk menanam safron, tak heran ladang safron bisa sangat luas dan memerlukan banyak pekerja untuk memanennya. Wajar, safron menjadi rempah yang sangat mahal karena seluruh proses panen dan produksinya manual dan hanya dapat dilakukan di waktu terbatas. Sudah begitu, untuk menghasilkan tanaman baru diperlukan waktu yang cukup lama. Setelah beberapa tahun, barulah umbi tanaman safron dibelah-belah dan ditanam ulang.

Susu hangat dengan safron. Ini enak banget!

Sambil menyeruput seduhan safron, kita bisa membayangkan ladang safron di sekitaran kota Torbat-e-Heydarieh di provinsi Razavi Khorasan, Iran. Sepanjang mata memandang, warna ungu memenuhi lembah dan bukit, dengan latar belakang matahari yang baru terbit. Tentunya nggak mungkin bisa melihat ladang bunga safron di siang atau sore hari karena mestinya sudah habis dipanen! Di ladang kita melihat para wanita dari keluarga petani dan desa sekitar membungkuk-bungkuk untuk memetik bunga dan kemudian memasukkannya ke dalam keranjang yang mereka bawa. Sementara itu, di bangunan di dekat situ ada banyak orang memilah-milah bunga dan melepaskan putiknya dari bagian bunga yang lain. Pasti suasananya riuh sekali.

Kota Torbat-e-Heydarieh beberapa kali disebut saat saya browsing-browsing mencari paket tour jalan-jalan ke ladang safron. Rupanya ladang safron juga bisa menjadi tujuan wisata. Sayangnya sampai saat ini saya baru bisa browsing di internet dan lihat-lihat foto-fotonya saja, belum bisa pergi ke sana langsung. Kota ini sendiri merupakan kota kuno yang sudah ditinggali sejak sebelum abad ke-6 sebelum masehi dan sudah terkenal di kalangan Persia dari jaman dahulu kala.

Daerah sekitar Torbat-e-Heydarieh bukan hanya penghasil safron saja, namun juga penghasil pistachio dan sutra. Semuanya dikenal sebagai suvenir khas Torbat-e-Heydarieh yang biasa dibawa pulang para turis dan pengunjung. Konon kabarnya, kalau sampai berkesempatan berkunjung kemari dan tidak membeli safron untuk dibawa pulang, bakalan menyesal seumur hidup.

Wah, harumnya bau safron membuat saya berkahyal sedang berwisata mengunjungi kebun safron ke Iran. Tapi begitu tetes terakhir ditelan ke dalam kerongkongan, saya tersadarkan oleh hujan deras yang sedang mengguyur kota Jakarta di bulan Februari ini. Yah, memang kahyalan hanya datang sesaat dan segera menghilang lagi. Apakah ada juga yang punya pengalaman minum seduhan safron?

12 Komentar:

  1. lumayan mahal ya, untungnya rempah rempah khas tanah air lebih terjangkau harganya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soalnya ini impor sih Kak. Di negara yang bukan penghasil pala, harga pala ya mahal. Bersyukur kita tinggal di Indonesia dimana rempah-rempah berasal. Jadi banyak rempah-rempah yang mahal di luar negeri, tapi di Indonesia murah.

      Hapus
  2. mengapa ketika baca ini saya jadi merasa ikutan menghirup aroma safron yang tengah diseduh ya...huhu...sangat menghangatkan badan di kala hujan dan tambah imun ya kak minum seperti herbal gini...

    tapi akupun jadi kebayang andai dia akhirnya dijadikan campuran buat menanak calon nasi kebuli...kedengarannya kok menarik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kak. Benernya pengin nyoba bikin nasi safron di rumah. Tapi kalau butuhnya banyak banget gitu kok sayang. Hahaha!

      Hapus
  3. Pantesan aja safron jd semahal itu ya Mba.. Susah ngerawatnya, ga bs ketutup bayangan lain, mana nuat sekilo safron membutuhkan sampe 150.000 bunga. Wuaaa...

    Selama ini aku tau safron memang buat diseduh kaya Mba Dyah itu. Aku baru tau ternyata di luar sana dipake buat bumbu masak bikin nasi kebuli gt yaa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Kak. Ternyata di YouTube, saffron bisa buat bumbu macam-macam. Betulnya penasaran juga sih. Tapi masih mikir-mikir juga kalau beli saffron 1/2 gram buat masak ayam seekor. Kok mahalan bumbunya dari ayamnya. Hahaha!

      Hapus
  4. Pantesan harganya mahaaaal yak :D.

    2020 aku gagal ke Iran. Di reschedule ke 2021 September besok. Ok siiip, aku bakal beli Safron yg banyak buat di seduh di rumah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener, Mbak. Kalau sempat ke Iran, jangan lupa beli safron, biar nggak nyesel.

      Hapus
  5. Pantesan mahal pake banget, soalnya untuk menghasilkan 1 kg Safron membutuhkan bunga 150 ribu, banyak banget ya. Tak heran harga sekilonya sampai ratusan juta.

    Berarti tanaman ini adanya di daerah Iran sama Afghanistan sana ya mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kebun safron yang besar ada di Iran dan Afghanistan sana. Makanya kalau beli safron kan biasanya kalau nggak safron Iran ya safron Afghanistan.

      Hapus
  6. Baru tau saya apa itu safron...

    BalasHapus
  7. Gara-gara suka nonton youtube dan ntah kenapa Food Insider tiba-tiba selalu aja muncul di beranda youtube. Ujungnya jadi tau sama si Safron ini, beneran mahal ternyata yah. Mulai dari proses sampai bisa dipakai butuh perawatan yang hati-hati dan perlu perawatan gak setengah-setengah agar si safron ini bisa tumbuh dengan baik.

    Bisa gak ya tanaman mahal beginian dicoba ditanam di Indonesia gitu :D biar jadi produk lokal hehehe, kan banyak tuh khasiatnya

    BalasHapus