30 Mei 2014

Hari III : Trekking di Pulau Komodo – Pink Beach – Labuan Bajo

Kapal lepas sauh dari pantai Gili Laba sekitar jam 05:30. Itu adalah jam terbit matahari di daerah Labuan Bajo. Sebelum kapal berangkatpun, kami sudah keluar dari kamar. Kami semua bangun pagi-pagi dengan harapan bisa melihat sunrise. Akan tetapi langit yang berawan membuat matahari tidak terlihat dengan sempurna. Apa boleh buat.

Sunrise di perjalanan menuju Pulau Komodo.
Perjalanan dari pantai di Gili Laba ke pos penjagaan Taman Nasional di Pulau Komodo ditempuh selama sekitar dua jam. Selama itu, kami masih sempat bersantai dan makan pagi. Makan pagi kami adalah roti panggang, telur dadar, dan pancake pisang. Pancake pisang favoritku muncul juga di atas kapal! Satu orang mendapatkan jatah satu pancake pisang sebesar piring makan. Nyam! Di atas kapal juga tersedia air panas (di dalam termos), kopi dan teh. Makan pagi itu disertai dengan minum teh hangat yang menyegarkan.
Sepanjang perjalanan menuju Pulau Komodo, pemandangan di air membuat saya sangat mengagumi alam ciptaan Tuhan ini. Air laut yang nampaknya tenang dan hanya beriak-riak kecil, ternyata menyimpan arus air yang gerakannya tak terduga. Pada umumnya, permukaan air laut di kiri dan kanan kapal beriak kecil-kecil seperti kain jumputan yang luas berwarna biru. Tapi kadang kala, saya menjumpai satu area (biasanya bentuknya hampir seperti lingkaran) yang tidak ada riaknya sama sekali. Area itu nampak seperti cermin yang tenang. Tapi kalau diperhatikan, di tengah “cermin” itu, biasanya ada semacam lubang kecil, dan sedikit air di sekitarnya terlihat membentuk arus yang melingkari lubang itu.

Pertemuan dua arus (berwarna gelap), dan permukaan tanpa riak (bawah).



Di daerah yang beriak kecil-kecilpun, kadang kala saya temukan riak-riak itu arahnya berlawanan atau bahkan saling menabrak, dan membentuk semacam garis di sepanjang pertemuan arus itu. Kata Kak Mat, arus air laut di perairan Komodo memang tidak terduga. Ada bagian dimana airnya naik ke permukaan, ada yang turun ke bawah dengan kuat, dan di dasar laut, ada arus yang sangat kencang yang bisa membawa penyelam terlempar berkilo-kilometer dari tempatnya turun dari kapal. Bahkan laut yang nampak tenang juga menyimpan kekuatan yang menakutkan!

Desa Komodo, dilihat dari kapal saat menuju ke 
dermaga pos penjagaan Taman Nasional.
Kami tiba di pos penjagaan Taman Nasional Komodo sekitar jam setengah delapan pagi. Loh Liang, namanya. Dari kejauhan terlihat desa Komodo, satu-satunya habitat manusia di pulau ini. Setelah membereskan urusan administrasi, kamipun berjalan mengikuti Medium Trek dengan ditemani seorang Ranger. Nama ranger kami Pak Rachman. Semua ranger di Pulau Komodo adalah penduduk asli Pulau Komodo. Jadi mereka sudah mengenal Komodo sejak masih kecil. Selama kita tidak jauh-jauh dari ranger dan mengikuti seluruh petunjuknya, kita akan aman. Semua ranger dibekali dengan tongkat kayu khusus yang memang biasa dipakai untuk mengusir komodo. Katanya tongkat itu dibuat dari pohon yang, menurut legendanya, sudah menjadi bagian dari perjanjian antara manusia dan komodo. Bentuk tongkatnya unik, di ujungnya membentuk huruf Y.
Di sepanjang jalan, saya melihat papan-papan peringatan supaya tidak berisik. Sempat saya pikir kita tidak boleh bicara sama sekali. Tapi sepanjang perjalanan ranger kami menjelaskan tentang keadaan pulau dengan suara yang normal, dan dia tidak masalah kalau kami berbicara dengan suara yang wajar. Jadi mungkin maksud dari papan itu adalah untuk tidak teriak-teriak dan tertawa berlebihan. Untuk berbicara secara normal di dalam kelompok kecil, masih tidak masalah.
Kami melewati hutan dengan tanaman endemik Pulau Flores. Ada pohon gebang, yang katanya adalah makanan pokok penduduk Pulau Komodo sebelum mengenal beras. Pohon gebang ditebang, lalu batangnya diambil dan isi dari batang pohon itulah yang dimasak. Mungkin mirip dengan pohon sagu. Kami juga melewati hutan pohon asam. Di dekat hutan pohon asam, ada kubangan air yang menjadi tempat minum hewan-hewan, termasuk komodo. Saat kami melewati kubangan air itu, tidak ada satu hewanpun di situ.
Di area hutan, kami mendengar kicauan burung, melihat rusa, dan ayam hutan. Kata Pak Rachman, ada jejak babi hutan, tapi kami tidak melihat babi hutannya. Teman saya menemukan kotoran luwak di jalan, dan kata Pak Rachman memang ada banyak luwak yang tinggal di Pulau Komodo. Hanya saja luwak di sini tidak makan kopi, karena tidak ada tanamannya.

Pemandangan dari atas bukit Sulphurea.
Di bukit Sulphurea pemandangannya bagus. Dari situ kita bisa melihat garis pantai Pulau Komodo. Laut di sekitar Pulau Komodo nampak jernih dan tenang seperti danau. Kebalikan dengan laut yang nampak biru menyegarkan, pulau Komodo sebenarnya tanahnya relatif gersang. Hutannya pun renggang dan tanahnya kering. Mungkin juga karena kami datang di musim kemarau. Katanya, kalau musim hujan jalur trek di Pulau Komodo berlumpur. Di daerah tertentu lumpurnya bisa setinggi lutut.
Saya pikir kami tidak akan bertemu komodo di hutan. Soalnya sudah separuh jalan tidak ada tanda-tanda komodo. (Dan agak-agak bersyukur juga, soalnya saya takut komodo. Kalau kadal biasa sih, suka.) Waktu menuruni bukit Sulphurea, salah seorang teman saya tiba-tiba berkata, “Itu dia!” Kami melihat kedepan, dan menemukan, persis di dekat percabangan jalan, ada seekor komodo bersembunyi di balik pepohonan. Komodo tersebut nampak siaga. Kepalanya terangkat dan matanya terbuka. Kami sempat hanya terdiam memandangi komodo itu. Tak disangka, kami dapat melihat komodo di habitat aslinya. Panjangnya sekitar 2 meter. Kamipun menyempatkan diri untuk memotret komodo, dan berfoto ria (dari jarak jauh yah) dengan komodo itu.

Komodo yang kami temui di hutan.
Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak dengan semangat menyerbu dari belakang kami dan mendekat komodo. Dia lalu memfoto komodo itu – dengan blitz! Tidak hanya mengambil gambar, dia juga berseru-seru dengan suara lantang. Di belakang bapak-bapak tadi, ada rombongan lain yang anggotanya lebih muda. Ranger yang mendampingi mereka ikut melompat mendekati si bapak-bapak yang semangat itu. Komodo yang tadinya hanya diam membatu, mulai bergerak. Kepalanya lebih terangkat, lalu lidahnya menjulur-julur. Setelah beberapa menit, dia dua kali membuka mulutnya lebar-lebar.
Jujur saja, kami jadi takut kalau-kalau si komodo itu merasa terganggu dan menyerang. Jadi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melalui cabang trek yang lain. Menurut ranger kami, pertigaan itu juga salah satu tempat favorit komodo. Dan biasanya, komodo dari posisi yang kami temui tadi akan menuruni jalan dan sampai di trek yang kami lewati ini. Jadi, sambil bicara, dia beberapa kali mengarahkan tongkatnya ke lereng yang sering dilewati komodo.
Setelah meninggalkan bukit Sulphurea, kami tiba di kompleks dapur lama. Di sini ada beberapa komodo muda yang berjalan-jalan ataupun tiduran di sekitar bangunan-bangunan yang tak terpakai itu. Kami pun mengambil gambar komodo-komodo itu, dan berfoto bersama (dari jauh). Kabarnya, kompleks dapur lama ini memang tempat favorit komodo, jadi turis yang tidak berhasil bertemu komodo di alam terbuka, bisa menemukan mereka di sini. Kata Pak Rachman, kami beruntung karena turis yang datang lebih pagi dari kami tidak bertemu dengan komodo di hutan.

Komodo di area Dapur Lama.
Dan kami menjadi lebih beruntung lagi, karena saat berjalan di tepian pantai, sedikit menjauhi dapur lama, kami menemukan seekor komodo yang ukurannya hampir 3 meter! Komodo itu sedang tidur. Matanya tertutup. Kabarnya jumlah turis yang menemukan komodo sebesar itu lebih jarang lagi. Nampaknya komodo ini sedang dalam keadaan kenyang. Gerombolan rusa di dekatnya tidak terusik sama sekali dengan keberadaan komodo yang tidur itu. Kami pun kembali foto-foto (dari jauh) dengan komodo ini. Tak lupa kami berfoto juga dengan rusa yang ada di dekatnya.
Di akhir perjalanan selama satu setengah jam itu, kami tiba di tempat penjualan suvenir. Sebelum kami berjalan-jalan di Pulau Komodo, Kak Mat sudah berpesan agar kami membeli ukiran kayu komodo di situ. Pasalnya, ukiran kayu berbentuk komodo memang buatan penduduk situ. Kalau kaos atau barang yang lain akan lebih murah kalau beli di Labuan Bajo. Jadi, di tempat suvenir itu kami membeli tempelan magnet dengan ukiran kayu komodo.
Saya juga sempat tertarik dengan kalung dengan bandul putih sebesar satu buku jari kelingking. Waktu saya tanya ke penjualnya itu apa, dijawab, “Ini kima.” Dasar anak kota yang nggak kenal laut, saya pun polos saja balik tanya, “Kima itu apa?” Penjualnya yang bingung. Dia hanya bilang, “Itu, Mbak, yang ada di tengah laut. Seperti kerang.” Saya sempat bingung, kalau seperti kerang, kok bentuk bandul ini membulat seperti bawang putih? Terusnya warnanya putih kusam seperti kapur. Mana kerangnya? Setelah saya pulang ke rumah, dan browsing di internet, baru saya tahu, kima adalah nama sejenis tiram laut. Bandul itu adalah mutiara laut (bukan budidaya). Cuma, karena warnanya tidak mengkilat, tidak bisa dijual ke pengrajin mutiara. Ooo...
Sepulang kami ke atas kapal, kami disambut oleh jus pepaya. Lengkap juga makanan di atas kapal ini. Dari dermaga pos penjagaan Taman Nasional, kami melanjutkan perjalanan ke Pink Beach, masih di pulau Komodo juga. Lama perjalanan menuju Pink Beach adalah setengah jam.

Pink Beach, dilihat dari atas bukit.
Kapal kami tidak boleh mendekati pantai pink beach. Kapal ukuran sedang dan besar memang tidak boleh merapat ke pantai karena ditakutkan akan merusak terumbu karang yang ada di tepi pantai. Jadi, kami harus menggunakan jasa kapal kecil yang ada di situ. Kebetulan, ada satu kapal nelayan kecil yang siap mengantarkan kami ke pantai. Jadi, kami membawa perlengkapan snorkeling dan menaiki kapal menuju ke pantai. Di kapal ini ada seorang bapak dan anaknya yang mungkin umurnya belum cukup untuk masuk SD. Si anak kecil ini cekatan dalam mengatur tali-temali untuk membantu ayahnya menjalankan kapal. Tidak ada dari kami yang mengerti ucapan anak tersebut. Kata ayahnya, anak kecil tersebut berbicara dalam bahasa desa Komodo. Wah, ternyata mereka juga memiliki bahasa tersendiri.
Pink beach, sesuai dengan namanya, adalah pantai yang pasirnya berwarna merah muda. Warna merah muda didapat dari serpihan koral berwarna merah yang terbawa arus dan terhempas ke pantai. Kalau dilihat lebih dekat, terlihat bahwa butiran merah itu warnanya tidak sama: ada yang merah marun, merah terang, bahkan ada yang berwarna oranye. Tapi dilihat dari jauh, efeknya sama, membuat pasir pantai berwarna pink.

Terumbu karang di Pink Beach.
Di dekat pantai ada bukit kecil dimana kita bisa melihat seluruh garis pantai yang berwarna kemerahan. Dari atas, memang lebih terlihat warna pink dari pasir pantai. Daerah yang baru saja terkena hempasan ombak lebih jelas warna merahnya. Turun dari bukit, kami langsung snorkeling. Bapak yang membawa kami ke pantai menginformasikan daerah mana yang berarus deras dan mana yang tenang. Jadi kami dapat melihat-lihat terumbu karang dengan tenang. Ketika snorkeling, baru terlihat bahwa terumbu karang di sekitar pantai memang didominasi oleh warna merah. Ada yang merah marun, merah terang, merah muda, oranye, dan juga oranye muda. Tentunya ada juga warna putih, hijau, dan warna-warna lain. Di sini banyak ikannya. Dan saat saya mengapung tanpa bergerak, ikan-ikan itu dengan cueknya lewat-lewat di depan goggle saya. Lucu sekali!
Setelah setengah jam snorkeling, kami kembali ke kapal. Kapal melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Labuan Bajo. Saat makan terakhir kami di atas kapal, lauk yang disajikan porsinya banyak sekali. Ada ayam gorengnya. Juga ada tempe masak timun yang saya sukai. Secara umum, saya puas dengan ketersediaan makanan di atas kapal ini.
Lama perjalanan dari Pink Beach ke Labuan Bajo memakan waktu sekitar empat jam. Lumayan lama. Jarak dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo memang lumayan jauh. Itulah sebabnya turis yang tidak punya banyak waktu akan lebih memilih untuk melihat komodo di Pulau Rinca. Tapi kabarnya, komodo di Pulau Rinca lebih kecil ukurannya dan lebih sering memakan korban manusia. Soalnya, Pulau Rinca lebih gersang dan lebih sedikit hewan buruannya. Selain itu, Pulau Rinca tidak berpenghuni, sehingga ranger di sana sebenarnya lahir dan besar di pulau lain. Berbeda dengan Pulau Komodo yang dihuni oleh satu desa, sehingga memang ada penduduk aslinya.

Pelangi di pesisir Flores.
Kami tiba di Labuan Bajo sekitar jam setengah empat. Kedatangan kami ke Labuan Bajo disambut oleh pelangi. Sekali lagi kami merasa beruntung bisa melihat pelangi yang indah di Pulau Flores. Di hari kedatangan kami ke Labuan Bajo, hujan turun. Padahal selama perjalanan kami tidak mengalami hujan. Katanya, memang bukan musimnya untuk hujan di bulan Mei. Sebelum menuju hotel, kami menyempatkan diri untuk mampir dulu membeli oleh-oleh.
Malam ini kami menginap di hotel Laprima. Hotel bintang 4 ini menyediakan fasilitas kolam renang, spa, pijat, dan antar jemput dari/ke bandara atau dari/ke kota Labuan Bajo. Untuk saat check in dan check out, antar jemput ke/dari hotel gratis. Sunset di Hotel Laprima lebih bagus dibandingkan di pelabuhan. Sayangnya langit berawan. Kalau cuaca cerah, bisa lebih bagus.

Sunset dilihat dari kamar hotel kami.
(bersambung)

2 Komentar:

  1. Halo mba,mau tanya dong klo harga kimanya di patok berapa ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tergantung ukuran. Dulu, tahun 2014, yang ukurannya lebih kecil dari bawang putih tunggal dan warnanya kusam banget Rp 80.000,- itupun sudah ditawar mati-matian. Mungkin karena waktu kami datang bukan musim turis. Kalau harga bukaannya sih Rp 150.000,-. Mungkin itu kalau peak season nggak bakalan turun harganya. Kalau yang mengkilat dan sudah masuk ke pengrajin, harganya harusnya sudah lebih mahal lagi.

      Hapus