13 Agustus 2014

Bulan Juni 2014 yang lalu, saya mendapat tugas beberapa hari untuk membantu suatu pelatihan di Yogyakarta. Walau kunjungan kali ini bukan dalam rangka jalan-jalan, setiap ada kesempitan tentu selalu saya jadikan kesempatan, hehehe ... Di malam terakhir sebelum kembali ke Jakarta, saya menyempatkan untuk menikmati Yogyakarta di waktu malam. Proyek saya waktu itu adalah, berjalan kaki dari monumen Tugu sampai dengan Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta.
Monumen Tugu, salah satu ciri khas Yogyakarta.
Saya tiba di perempatan Tugu sekitar jam 18:45. Perempatan Tugu menjadi titik awal perjalanan saya. Perempatan antara Jl. P. Diponegoro – Jl. Jend. Sudirman dengan Jl. Margo Utomo ini merupakan  salah satu tempat favorit turis di Yogyakarta, dengan ciri khas berupa monumen Tugu yang berada di tengah jalan. Tugu yang menjadi salah satu ikon wisata Yogyakarta ini dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I, yang juga merupakan pendiri Keraton Yogyakarta. Tugu ini terletak di garis lurus antara Keraton dengan puncak gunung Merapi. Kabarnya, pendirian tugu ini memiliki tujuan magis, yaitu menjadi petunjuk arah bagi sultan jika hendak bermeditasi ke arah Gunung Merapi. Di akhir pekan, banyak orang yang berdiri di sekitar tugu untuk foto-foto.
Dari tugu, saya berjalan ke arah selatan, memasuki Jl. Margo Utomo atau nama lainnya Jl. P. Mangkubumi.  Jalan ini adalah terusan dari Jl. Malioboro. Dibandingkan dengan Jl.Malioboro, jalan ini relatif sepi pejalan kaki. Jumlah warungnya tidak banyak, walau sebenarnya rasanya juga tidak kalah dengan lesehan di sekitaran Malioboro. Padahal, di kiri kanan jalan ini cukup banyak hotel, dari hotel backpacker sampai hotel berbintang. Sudah dapat dipastikan, para wisatawan di hotel-hotel ini memilih untuk berjalan-jalan di Malioboro.
Warung angkringan "Gareng Petruk".
Berhubung lapar, saya mampir ke warung angkringan yang cukup rame, yaitu “Angkringan Gareng Petruk”. Letaknya angkringan ini di kiri jalan, kalau kita berjalan ke arah Malioboro. Nasi di sini dibungkus kecil-kecil, dengan bumbu dan lauk terbatas. Untuk tambahan lauk, ada banyak pilihan seperti tahu, tempe, ayam, dan lain-lain. Tempat berebut, karena pengunjung banyak. Rasanya lumayan, bolehlah direferensikan.
Terus berjalan ke arah selatan, saya sampai di dereten tenda penjual kopi joss dan seafood. Ini artinya stasiun Tugu sudah dekat. Stasiun Tugu adalah stasiun kereta api utama Yogyakarta. Tepat sebelum Stasiun Tugu, tepatnya di Jl. Wongsodirjan, di utara pagar pembatas areal Stasiun Tugu, ada banyak warung lesehan angkringan kopi joss. Warung yang lumayan terkenal di sini adalah warung angkringan “Lik Man”.
Rel kereta api di ujung Jl. Malioboro.
Melewati stasiun kereta api, saya tiba di ujung Jalan Malioboro yang terkenal itu. Banyak orang berfoto dengan papan nama jalan “Malioboro” di sini. Memang, sekali pose, orang bisa mendapatkan latar belakang jalan Malioboro yang terkenal itu, plus papan penunjuknya sebagai bukti otentik keberadaannya di situ. Satu lagi tempat yang sering menjadi tempat foto-foto adalah jalur kereta api yang melewati area itu. Suara lonceng gardu penjaga dan suara kereta api yang siap berangkat menjadi atraksi tersendiri bagi para pengunjung. Oh ya, satu lagi tempat orang sering berfoto, adalah jam di pinggir jalan, yang punya kembaran di ujung selatan jalan utama di Kawasan Malioboro ini.
Dari sini, mulailah saya berjalan berdesakan di trotoar, melewati para penjual baju dan kerajinan, serta orang-orang yang bergerombol memilih-milih barang dagangan. Kadang kala, saya berhenti karena jalanan macet. Rupanya bukan hanya jalur mobil yang bisa macet. Kesempatan untuk melihat-lihat corak-corak kain yang bagus atau gambar T-Shirt yang lucu membuat saya tidak terlalu sebal dengan keadaan ini.
Yang unik dari kawasan Malioboro adalah pengeras suara di hampir setiap sudut. Pengeras suara memutar lagu-lagu lembut, atau memberikan pengumuman kepada pihak yang berkepentingan. Di malam hari, pengumumannya antara lain adalah, “Jangan lupa menggembok gerobag, dan menyimpan di tempat yang aman. Jangan ditinggal di tepi jalan.”
Menambatkan kuda di tepi Jl. Malioboro.
Di jalur lambat, kereta kuda, atau andhong, berbaris menunggu penumpang. Tukang becak berseru-seru menawarkan untuk mengantar ke tempat belanja. Sepeda serta sepeda motor bersliweran di tengah orang-orang yang berjalan kaki. Mungkin karena saya berjalan kaki di malam Sabtu, sehingga Jalan Malioboro ramai dipenuhi orang – atau mungkin memang sehari-harinya seperti ini?
Di sepanjang Jalan Malioboro, ada banyak jalan kecil dimana hotel-hotel bertebaran bagai jamur. Jalan-jalan ini dinamai sebagai “Kawasan Wisata”, sebagaimana tertulis di papan petunjuknya. Ada Kawasan Wisata Dagen, Kawasan Wisata Pajeksan, dan lain-lain. Kesannya seperti di Jalan Jaksa Jakarta – dengan tambahan warung gudeg atau angkringan. Dan becak. Di antara hotel-hotel itu, ada juga agen tur, salon, tempat spa dan pijat, serta penjual kerajinan. Memang kawasan ini diarahkan untuk menjadi tempat wisata, one-stop service!
Ujung Jalan Malioboro.
Dari ujung Jalan Malioboro, di kiri jalan ada gedung DPRD DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), yang dari luar hanya kelihatan gerbangnya saja. Di depan pagarnya, berjajar warung lesehan yang menawarkan hidangan khas Yogyakarta. Halte TransJogja Malioboro 1 juga terletak di sini. Sementara di kanan jalan, ruko-ruko sudah berderet memamerkan barang dagangan. Di antara ruko-ruko ini, ada “Jogja Library Center” yang menawarkan arsip-arsip daerah DIY. Cuma karena sudah malam, tentu saja perpustakaan ini tutup. Ada juga papan petunjuk yang bertuliskan “Kampung Wisata Sastromenduran”, tapi saya cari di mana kampungnya, saya tidak menemukan. Mungkin karena gelap, mata saya kurang awas.
Dari jauh saya sudah bisa melihat Malioboro Mall di kiri jalan, gedung terang-benderang yang menjadi salah satu pusat perbelanjaan di Yogyakarta. Untuk turis yang hendak mencari ATM ataupun coffee shop dengan wifi, mall ini adalah tujuan yang mudah ditemukan dan dapat dipastikan menyediakan berbagai kebutuhan tersebut dengan mudah. Selasar Malioboro Mall memang lebih bersih dibandingkan trotoar di bagian lain dari kawasan Malioboro. Mungkin karena tidak ada pedagang kaki lima di sini. Di seberang Mall, saya bisa melihat Toko Ramayana dan Apotik Kimia Farma. Tapi jalur lambat di sini jauh lebih padat – soalnya motor banyak yang parkir di sini.
Melewati jalan masuk ke Kawasan Wisata Dagen, saya bertemu dengan grup perkusi jalanan berseragam yang sedang memamerkan keahliannya. Alat musik yang digunakan terbuat dari pipa dan drum. Banyak orang berkerumun menonton mereka, jadi saya tidak merasa terlalu nyaman berlama-lama di situ. Beberapa menit  berjalan, saya sudah dapat melihat Halte TransJogja Malioboro 2 di kiri jalan.
Kawasan Wisata Dagen. Ramai.
Saya melanjutkan perjalanan, dan melewati Toko Matahari di kanan jalan. Seingat saya, toko ini sudah ada sejak saya masih kecil, sebelum ada yang namanya mall. Di kiri jalan, ada Kantor Gubernur DIY. Sama seperti gedung DPRD, dari luar hanya kelihatan gerbangnya saja.
Sebetulnya, Jl. Malioboro hanya sampai di depan kantor Gubernur ini. Selewat kantor ini, jalan ini dinamai Jl. Margo Mulyo atau Jl. Ahmad Yani. Hanya saja, karena ruko dan pedagang masih berjajar tanpa putus di jalan ini, banyak turis yang tidak sadar bahwa mereka sudah tidak berada di Jl. Malioboro. Tentu saja, untuk memudahkan penyebutan, baik Jl. Malioboro, Jl. Ahmad Yani, maupun jalan-jalan kecil yang menjadi tempat penginapan di sekitarnya, seluruhnya dinamakan Kawasan Malioboro.
Terus berjalan melewati jalan masuk ke Kawasan Wisata Pajeksan di kanan jalan, saya sampai di seberang Toko Rama. Sama seperti Toko Matahari, toko ini sudah ada sejak sebelum ada mall. Melewati toko-toko dengan konsep jaman dahulu, dengan tumpukan baju dan tulisan diskon besar-besar di depannya, saya merasa seperti kembali ke masa dimana sekedar belanja adalah hiburan – yang tidak disertai dengan acara nongkrong di cafe dan KTV.
Jalan kecil setelah Pajeksan adalah Kampung Ketandan. Kalau menurut internet, daerah Pajeksan dan daerah Ketandan adalah daerah pecinan di Kawasan Malioboro ini. Sayangnya di kedua jalan ini, saya menemukan area yang sepi dan gelap. Pejalan kakinya jarang, dan seringkali saya menjumpai tembok tinggi yang tidak ramah. Berbeda sekali dengan daerah Dagen yang penuh dengan orang hilir mudik dan becak mondar-mandir. Mungkin kedua kawasan ini tidak ditujukan untuk wisata di waktu senja. Di internet disebutkan bahwa daerah ini adalah tempat rumah makan cina, yang mungkin hanya buka di siang hari. Akan tetapi saya tidak menemukan papan petunjuk rumah makan di kedua tempat ini.
Tepat di sebelah Kampung Ketandan, ada Toko Ramayana. Berbeda dengan Kampung Ketandan yang sepi, Toko Ramayana terang benderang dan riuh. Kontras sekali. Melewati Toko Ramayana, saya tiba di Pasar Beringharjo yang terkenal dengan pedagang batiknya. Pasar Beringharjo di malam hari nampak ceria dengan lampu yang berwarna-warni. Di seberang jalan, deretan toko emas yang sudah tutup ditutupi oleh warung lesehan.
Pasar Beringharjo di waktu malam.
Setelah Pasar Beringharjo, saya melihat jalan kecil dan papan petunjuk “Beringharjo Center” dan “Taman Budaya”. Maka berbeloklah saya ke jalan itu, tapi saya hanya melewati bagian depan tempat-tempat itu saja, sambil tak lupa mampir mengintip-intip di “Pusat Loak dan Klithikan”. Kalau mau mencari lampu sepeda onthel, di sini tempatnya.
Ada banyak pedagang kaki lima yang menjual makanan dan pakaian di jalan utama setelah saya melewati Pasar Beringharjo. Papan petunjuk di situ bertuliskan “Pasar Sore Malioboro” – nah, padahal ini kan sudah bukan jalan Malioboro ... Di seberang jalan ada jam yang masih menunjukkan waktu dengan baik. Ini kembarannya jam yang ada di ujung utara Jl. Malioboro.
Benteng Vredeburg dengan "gargoyle" yang sedang nongkrong.
Saya melewati Halte TransJogja Ahmad Yani dan kemudian tiba di depan Museum Benteng Vredeburg. Tentu saja museum ini sudah tutup. Jadi saya tetap berjalan melewati Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 yang meriah disorot lampu warna-warni. Banyak orang nongkrong di sekitar sini, di antara penjual tatoo dan penjual wedang ronde.
Saya tiba di perempatan jalan besar. Kalau belok ke kiri saya akan masuk ke Jl. Senopati, kalau belok ke kanan saya akan masuk ke Jl. K.H. Ahmad Dahlan. Di seberang saya dapat melihat Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI tepat di ujung perempatan.
Perempatan menuju ke kompleks keraton.
Menyeberang perempatan, saya melewati gapura dua lapis. Papan petunjuk menginformasikan bahwa saya memasuki Jl. Pangurakan atau Jl. Trikora. Aneh sekali, begiti melewati gapura, saya merasa jalanan lebih sepi dibandingkan Kawasan Malioboro. Mungkin karena lampu di sini tidak terlalu terang, atau juga karena saya sudah memasuki kawasan keraton Yogyakarta. Di antara kedua pasangan gapura ini, ada Museum Sonobudoyo, Pos Polisi Pariwisata, sekolah Pangudi Luhur, dan juga Balai Pemasyarakatan Kelas I.
Akhirnya saya tiba di alun-alun. Walau dengan penerangan yang minim, alun-alun tidak dapat dikatakan sepi. Ada banyak becak di situ, dan ada beberapa orang berjalan entah menuju ke mana. Terus menuju ke arah keraton, saya semakin banyak menemui orang-orang yang berfoto dengan latar belakang keraton. Dengan cahaya seadanya, gedung keraton semakin memancarkan nuansa mistik dan agung. Tak heran siang maupun malam banyak orang datang kemari, walaupun hanya untuk berfoto-foto di depan pagarnya.
Keraton Yogyakarta di waktu malam.
Total perjalanan saya dari Monumen Tugu sampai ke Keraton adalah 3 jam, itu sudah termasuk makan malam dan memasuki semua kampung dan jalan kecil di sepanjang jalan Malioboro untuk melihat keadaannya. Pulangnya saya jalan lurus tanpa henti, dan jarak yang sama bisa ditempuh dalam kurang dari 1 jam. Capek? Sudah pasti! Tapi menyenangkan, berjalan kaki di jalur utama pariwisata Yogyakarta.

Catatan: Karena tujuan utama perjalanan adalah tugas kantor, maka saya tidak membawa kamera. Seluruh gambar diambil dari kamera handphone yang yang spesifikasinya hanya 5 MP.

0 Komentar:

Posting Komentar