17 Juli 2015

Sayang sekali kalau sudah pernah pergi ke Jepang tapi belum pernah mencoba Onsen (温泉). Onsen adalah pemandian air panas tradisional khas Jepang. Bentuknya seperti kolam gitu dan isinya air panas, dimana orang bisa berendam di dalamnya. Jarang orang asing mau mencoba onsen karena ... mandi di onsen harus dalam keadaan telanjang! Yup, dan onsen umumnya bukan tempat privat yah, jadi bisa banyak orang di situ. Biasanya sih, onsen umum dibedakan antara yang khusus pria dan khusus wanita. Kalau onsen privat, boleh untuk rombongan, campur-campur juga bisa.
Salah satu tempat pemandian air panas yang banyak dikenal orang Jepang adalah Amagase (天ヶ瀬). Amagase adalah desa kecil yang menjadi bagian dari kota Hita, di Oita Perfecture, Pulau Kyushu, Jepang. Menurut website resmi pemerintahan kota Hita, Amagase sudah dikenal sebagai tempat pemandian air panas sejak 1300 tahun yang lalu. Kabarnya, penulis dan orang penting ternama di jaman dahulu datang ke Amagase untuk menikmati keindahan daerah ini. Hingga sekarang, Amagase dipublikasikan sebagai tempat wisata onsen.
Sungai Kusu di Amagase.
Saya berkunjung ke Amagase di bulan Maret tahun 2013. Sudah lama, yah! Saat itu, saya berkunjung ke tempat adik saya yang kuliah di Fukuoka. Di suatu hari, berhubung dia harus masuk kuliah, saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan pergi ke tempat yang lumayan jauh, transportasinya gampang, dan tidak perlu menginap. Jatuhlah pilihan pada Amagase. Dan saya ke Amagase seorang diri, berbekal bahasa tarzan karena kemampuan bahasa Jepang sangat minimal. Hahaha!

Menuju Amagase

Untuk menuju ke Amagase, saya menggunakan kereta. Kenapa? Karena lokasi kompleks onsen di Amagase sangat dekat dari stasiun JR (kereta api). Jadi saya tidak perlu pusing memikirkan bus atau kendaraan lain. Cukup jalan kaki 10 menit, sudah sampai di tempat onsen.
Jarak Amagase dari Fukuoka, hampir sama dengan jarak Jakarta ke Sukabumi. Walau saya sudah tahu posisi Amagase di googlemaps, tetap saja saya kurang tahu jurusan kereta yang harus dipilih. Jadi, di Stasiun Hakata (stasiun utama kota Fukuoka), saya menuju ke loket dan antre beli tiket. Kalau bisa bahasa Jepang dan tahu jalur yang harus dipilih, bisa saja beli tiket di mesin otomatis. Masalahnya, saya buta huruf di sini.
Di loket, saya bilang saya mau ke Amagase. Si Mbak lalu menunjukkan layar komputernya dan menunjukkan jadwal kereta dan jalur yang harus diambil. Saya menyerahkan uang sambil tanya, nanti saya pindah di mana. Eh .. si mbak ini ternyata nggak bisa bahasa Inggris, jadi dia cuma bilang jalur 11 (tempat saya harus menunggu kereta), mengeprint itinerary saya (dalam bahasa Jepang!) terus meminta orang yang antre di belakang saya untuk maju. Hadeuh ... Untung saya punya adik yang baik hati sudah browsing-browsing mengenai cara menuju Amagase dengan kereta, jadi paling tidak saya sudah ada gambaran. (Padahal adik saya juga belum pernah ke Amagase dan belum pernah naik kereta ke daerah sana.)
Itinerary saya ke Amagase dari Hakata Station.
Kereta di Jepang tepat waktu. Jadi, itinerary yang diprint si mbak di loket tadi bisa jadi pegangan yang diandalkan. Walau tidak bisa bacanya, paling tidak saya masih bisa mencocokkan bentuk tulisan yang menjadi nama stasiun saya di itinerary dengan yang tertulis di stasiun ataupun papan informasi di atas pintu kereta. Ini jadwal keberangkatan saya:
10:49 Stasiun Hakata (博多駅), naik kereta shinkasen Tsubame (つばめ) jurusan Kumamoto (熊本駅), turun di Stasiun Kurume (久留米駅)
11:14 Stasiun Kurume, keluar dari stasiun shinkansen, pindah ke stasiun untuk jalur Kyudai (久大本線). Waktu transit hanya 7 menit. Langsung naik kereta jurusan Yufuin (由布院駅), turun di stasiun Amagase (天ヶ瀬駅)
12:49 Tiba di stasiun Amagase
Total perjalanan sekitar 2 jam, dengan biaya 2.070 yen. Kereta yang saya naiki dari stasiun Hakata adalah shinkansen yang paling lambat (dan paling murah). Kereta yang saya naiki dari stasiun Kurume adalah kereta biasa yang bentuknya seperti kereta commuterline, cuma kursinya menghadap ke depan semua seperti kereta bisnis jurusan Jakarta-Yogyakarta. Kereta jalur Kyudai yang saya naiki berhenti di semua stasiun.
Kalau bingung kapan perlu turun, googlemaps bisa dijadikan patokan untuk menghitung jumlah stasiun yang dilewati. Tapi kalau punya telinga bagus dan mau cari-cari penjelasan jalur (biasanya di atas pintu), tinggal tunggu nama stasiun disebutkan baru turun. Kalau berangkatnya pagi, sebenarnya ada kereta langsung dari Hakata ke Amagase, sayangnya saya kesiangan.
Karena Amagase adalah desa, stasiunnya juga kecil. Waktu saya datang, yang jaga hanya satu orang bapak-bapak berumur yang baik hati. Walau bahasa Inggrisnya pas-pasan, tapi dia berjuang menjelaskan ke saya tentang Amagase.

Mondar-mandir di Amagase

Kompleks pemandian air panas Amagase letaknya sangat dekat dengan stasiun kereta. Bahkan, begitu keluar stasiun, sudah kelihatan deretan hotel dan tempat pemandian itu. Amagase terletak di pinggir sungai Kusu (Kusugawa). Hotel dan onsen serta warung makan dibangun di kiri-kanan sungai. Jalan di antara bangunan-bangunan yang suasananya jaman dulu banget begini, mengingatkan saya pada film Spirited Away (Sen to Chihiro no Kamikakushi), dimana onsen tempat pemandian dewa-dewa letaknya juga dipinggir sungai.
Jalan di Amagase Hot Springs.
Selain onsen yang ada di dalam bangunan (kadang juga merangkap hotel), ada juga onsen di tempat terbuka (di pinggir sungai). Kalau onsen di tempat tertutup harganya tergantung fasilitas, kalau yang terbuka hanya 100 yen. Kalau mau berendam di tempat terbuka, cukup menaruh uang seratus yen di tempat yang disediakan lalu masuk ke dalam air. Tapi ya itu ... nggak pakai baju yah. Hehehe ...
Saya tiba di Amagase Hot Springs sekitar jam setengah satu siang lebih sedikit. Untung musim semi, jadi udaranya sejuk dan tidak panas. Karena saya datang di hari kerja, siang hari pula, sepertinya saya adalah satu-satunya orang yang berkunjung kemari. Orang Jepang kan ke onsen kalau akhir pekan atau pulang kantor. Jadi, waktu saya keliling-keliling, jalan-jalan di sekitaran Amagase sepi ... banget! Seolah-olah tidak ada penghuni. Warung-warung makan tutup. Hanya dua toko oleh-oleh yang pintunya terbuka. Tapi nggak ada yang jaga.
Jujur saja, saya sempat masuk ke dua gedung onsen dan berseru-seru di resepsionis, tapi tidak ada yang menjawab. Di gedung onsen ketiga, di Hotel Amagase (天ヶ瀬荘), pas saya ke ruang resepsionis, terdengar suara ibu-ibu mengobrol, sepertinya sedang cuci gelas dan piring. Langsung deh, saya datangi mereka dan tanya apakah onsennya buka. Kedua ibu-ibu yang sedang cuci panci dan perlengkapan dapur itu tidak ada yang bisa bahasa inggris sama sekali. Tapi berhubung saya masih bisa sedikit banget bahasa Jepang, jadi paling tidak saya tahu sedikit-sedikit maksudnya. Syukurlah ada onsen di dalam gedung yang buka dan mau menerima saya berendam di onsen. Kalau saya cuma punya pilihan untuk mencoba onsen 100 yen terbuka di pinggir sungai, sementara saya nggak pernah buka baju di depan umum, nggak kebayang horornya!

(Bersambung)

0 Komentar:

Posting Komentar