16 April 2016

Kampung Wisata Edukasi dan Budaya Sindangbarang

Makan dan tidur di Sindangbarang

Yak, di liburan kali ini kami bertiga menginap di Kampung Wisata Edukasi dan Budaya Sindangbarang. Dibandingkan areal taman nasional yang baru saja kami kunjungi (lihat artikel sebelumnya), lokasi Kampung Sindangbarang cukup dekat dengan Kota Bogor. Bahkan, di malam yang cerah orang bisa melihat kelap-kelip Kota Bogor dari Sindangbarang. Dari Curug Nangka ke Sindangbarang dengan mobil hanya memakan waktu sekitar 45 menit. Itu sudah termasuk sempat nyasar dan putar arah beberapa kali.
Selamat datang di Kampung Wisata Edukasi dan Budaya Sindangbarang.
Untungnya, waktu kami tiba di Sindangbarang, gerimis sudah berhenti. Jadi kami punya waktu untuk jalan-jalan melihat-lihat sekitar Kampung Wisata Edukasi dan Budaya Sindangbarang. Kampung Wisata ini terdiri dari sebuah ruang pertemuan yang disebut Bale Riungan, lumbung padi tradisional, rumah-rumah yang bisa disewakan untuk menginap, Sanggar Seni tempat latihan kesenian tradisional, lapangan tempat aktivitas outdoor, dan jalur trekking di sawah. Seru juga jalan-jalan disekitar Kampung Wisata Edukasi dan Budaya ini.
Menjelang maghrib, hujan turun deras. Saat itu, baru saya menyadari bahwa saya tidak membawa buku sama sekali, baik buku bacaan, buku tulis, ataupun buku gambar. Waduh, ngapain nih, untuk mengisi waktu luang sampai makan malam tiba? Saya sempat bolak balik mengelilingi rumah karena bosan, tapi tetap saja tidak menemukan bagaimana caranya menghabiskan waktu sampai jam makan tiba.
Lumbung padi di kampung budaya Sindangbarang.
Ada sih,  TV di dalam rumah tempat menginap, tapi saya memang pada dasarnya kurang suka menonton TV. Sementara teman saya yang sakit perut masih terlelap, teman yang satu lagi asyik nonton YouTube di hape. Memang di kompleks penginapan ini disediakan sarana Wifi yang cukup baik. Tapi kok kayaknya kurang seru yah, kalau menginap di kampung budaya Sunda tapi nonton acara kaum bule di YouTube atau buka-buka Facebook?
Akhirnya saya memutuskan untuk belajar konsentrasi, pura-puranya yoga. Jadi, saya duduk di bale-bale di depan rumah sambil duduk bersila, diam tak bergerak, dan memfokuskan pikiran ke pohon yang ada di seberang lapangan. 15 menit saja. Hasilnya? Saya merasa bahagia karena merasakan waktu seolah-olah berhenti. Jujur saja, sudah lama saya tidak merasakan bosan karena tidak ada yang harus dilakukan. Biasanya, hari Sabtu sambil tiduran di rumah saja, bisa teringat masih harus cuci baju atau ambil laundry, harus menggosok lantai kamar mandi, ada janji makan siang dengan teman, masih ingat harus SMS si X untuk urusan kantor atau ada tugas kantor yang harus selesai hari Senin pagi. Tapi di Sindangbarang ini, saya merasakan bosan yang luar biasa karena menunggu makan malam, sama seperti waktu masih kecil merasa bosan karena PR sudah selesai dikerjakan tapi ibu belum selesai memasak. Duduk diam sambil memusatkan pikiran ke pohon di seberang lapangan membuat saya mengingat kembali kebahagiaan masa kecil dimana waktu berjalan lambat dan tidak diburu-buru. Setelah berhenti konsentrasi pada pohon, saya lalu berbaring diam di kasur dan menikmati waktu yang berjalan sangat lambat.
Makan malam yang bikin kangen. Sambalnya enak banget!!!
Paket menginap di Kampung Wisata Edukasi dan Budaya Sindangbarang sudah termasuk makan tiga kali. Jadi, teh/kopi sore hari, makan malam, makan pagi, snack menjelang siang, dan makan siang keesokan harinya sudah termasuk ke dalam paket. Semua masakan dibuat oleh warga sekitar dengan bahan-bahan yang didapat dari sekitar Sindangbarang. Makan malam juga dibuat dengan nuansa kampung Sunda. Makan malam kami adalah nasi dengan lauk ayam goreng, bakwan jagung, dan sayur lodeh. Plus, sambal uleg yang enak banget! Sayur lodehnya bener-bener gurih dan nikmat. Selesai makan, saya langsung tidur kekenyangan.
Seluruh masakan yang saya makan di Kampung Sindangbarang ini rasanya  e n a k  banget! Pagi kami dapat sarapan nasi goreng dengan lauk telur ceplok dan tahu goreng tepung. Snack pagi kami jagung rebus dan segelas bandrek. Pas banget dengan cuaca yang mendung. Makan siang kami terdiri dari nasi, ayam goreng, dan perkedel. Plus sambel uleg yang enak banget itu. Sampai sekarang, yang paling saya kangenin dari Kampung Sindangbarang adalah sayur lodeh dan sambelnya.

Jalan-jalan di sekitar Kampung Sindangbarang

Saya bangun sekitar jam 6 pagi. Sudah pasti matahari sudah bersinar terang. Berhubung tidak ada rencana mengejar sunrise, maka kami bertiga memang sengaja bangun siang dan bermalas-malasan.
Matahari pagi di Sindangbarang.
Tapi konsep bermalas-malasan saya tidak cuma berbaring tidak bergerak di atas kasur. Konsep bermalas-malasan saya adalah jalan kaki santai. Dan itu yang saya lakukan. Jam 6 pagi, saya jalan kaki di sekitar Kampung Sindangbarang. Menyenangkan sekali. Saya berjalan di pematang sawah, melewati kali kecil, dan melewati jalanan kampung. Tapi jangan berpikir tentang desa pelosok yang belum mengenal aspal, yah! Kampung Sindangbarang hanya satu jam perjalanan dari Kota Bogor, jadi sudah pasti di sini sudah mengenal peradaban nan maju. Jalan kampung di sini beraspal mulus dan rumah-rumahnya tertata cukup rapi. Selama jalan-jalan pagi, saya beberapa kali bertemu dengan keluarga muda atau pasangan lanjut usia yang mengenakan baju training dan sedang jogging. Sekitar jam 6:30, saya sudah kembali ke penginapan dan siap-siap untuk makan pagi.
Gunung Salak, dilihat dari Sindangbarang.
Sekitar jam 8 pagi, setelah kami menikmati makan pagi berupa nasi goreng dan telur ceplok, kami mendapat tawaran untuk ikut guided tour singkat tentang peninggalan prasejarah di sekitar Sindangbarang. Dengan senang hati kami terima. Jadi, sesudah makan kamipun berangkat untuk melihat dua sisa-sisa peninggalan budaya megalithikum yang sempat dilanjutkan di jaman Kerajaan Pajajaran.
Perjalanan menuju kedua situs cukup seru. Kami melewati jalan setapak yang mendaki dan melewati kebun dimana banyak terdapat pohon menteng. Bulan Februari rupanya musim menteng, karena pohon-pohon menteng berbuah. Kami juga sempat melihat beberapa pohon kemang, namun tidak ada pohon kemang yang berbuah.
Situs pertama yang kami kunjungi adalah situs Batu Karut. Batu berukuran sebesar rumah ini dikabarkan merupakan tempat kegiatan spiritual di masa kerajaan Sunda. Katanya, sampai saat ini masih ada orang yang bersemedi di bawah batu ini untuk mendapatkan petunjuk kehidupan. Batu yang terletak di halaman rumah ini tidak terlihat seperti tempat wisata, karena tidak terawat dan salah satu sudutnya malahan menjadi tempat sampah rumah tangga sekitarnya.
Situs Batu Karut.
Situs kedua yang kami kunjungi adalah Punden Batu Kursi. Punden Batu Kursi ini letaknya juga di pekarangan orang. Bahkan, letaknya di dekat pintu masuk rumah pemilik tanahnya. Konon, punden batu kursi adalah tempat meditasi raja di jaman kerajaan Pajajaran. Menurut tour guide kami, penduduk Sindangbarang adalah penduduk kerajaan Pajajaran yang melarikan diri saat ada serangan dari kerajaan Demak. Kisah-kisah peninggalan kerajaan Pajajaran berupa batu-batu besar di sekitar Sindangbarang diceritakan dari mulut ke mulut, dan baru-baru saja ini dituliskan di dalam buku tentang situs purbakala di sekitar Bogor.
Punden Batu Kursi.
Sebenarnya masih ada beberapa situs purbakala lain di sekitar Sindangbarang, namun jaraknya cukup jauh jika berjalan kaki dari tempat menginap. Karena kami ada rencana ke tempat lain, maka kami tidak mau berlama-lama di sini.
Setibanya kami di kampung wisata, salah seorang pengurus menginformasikan bahwa sanggar seni sedang menyelenggarakan latihan angklung gebrak. Angklung gebrak adalah salah satu alat musik tradisional sunda. Sudah tentu kesempatan ini tidak kami sia-siakan untuk turut latihan dan mencoba alat musik tersebut.
Siang hari setelah makan siang, kami meninggalkan Kampung Wisata Edukasi dan Budaya Sindangbarang dan berangkat menuju tempat wisata berikutnya.

Warso Farm

Yak, destinasi selanjutnya di perjalanan kali ini adalah Warso Farm. Warso Farm adalah kebun durian dan kebun buah naga, milik keluarga seorang pensiunan tentara. Di sini, orang bisa membeli buah durian dan buah naga, plus menikmati hasil olahannya seperti surabi durian atau sop durian. Kebun buah naga dan durian yang luasnya 8,5 hektar ini memiliki beberapa varietas durian yang dijamin membuat penggemar durian ngiler.
Warso Farm.
Untuk penggemar durian, bolehlah mampir di Warso Farm ini. Letaknya yang persis di pinggir Jl. Raya Cihideung, tepatnya di Desa Cihideung, Kec. Cipelang, Bogor membuatnya mudah dicari. Posisinya GoogleMaps cukup akurat sehingga tidak menyulitkan orang-orang yang baru pertama kali ke sana.

Warso Farm adalah akhir perjalanan kami di liburan kali ini. Kami pulang sambil membawa oleh-oleh buah durian untuk keluarga. Lain kali, kami akan coba eksplor bagian lain dari area Gunung Salak yang mungkin juga bisa menawarkan tempat-tempat wisata yang seru.
Kebun buah naga, Warso Farm.

(Selesai.)

4 Komentar:

  1. suasanyanya cozy, jadi pingin ke sana.. hehe

    BalasHapus
  2. Indonesia memang Indah. Dari kota kecil seperti ini saja sudah menyimpan banyak pesona alami

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget! Selain pemandangan keren, kulinernya juga okeh ...

      Hapus