9 April 2016

Daerah Bogor sudah lama menjadi tempat berlibur dan beristirahat bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Selain letaknya yang cukup dekat dengan Jakarta, suasana daerah Bogor yang masih alami menjadi daya tarik tersendiri. Nah, saya akan berbagi pengalaman saya menghabiskan akhir pekan di sekitaran Bogor. Saya dan dua orang teman memutuskan untuk jalan-jalan di Bogor pada tanggal 13 – 14 Februari 2016 yang lalu. Berikut catatan perjalanan kami.

Gagal ke Pura Parahyangan Agung Jagatkartta

Rencananya, di hari Sabtunya, kami hendak berkunjung ke Pura Parahyangan Agung Jagatkartta. Tempatnya lumayan jauh dari kota Bogor, naik mobil sekitar 1 jam perjalanan. Selama perjalanan, GoogleMaps menjadi andalan untuk menunjukkan jalan karena minimnya petunjuk jalan menuju ke pura ini.
Jalan yang kami lewati di Kelurahan Mulyaharja.
Untuk menuju ke Pura ini dari Bogor, Mbah Google menyarankan kami untuk lewat perumahan Bogor Nirwana Residence dan The Jungle. Jadinya, kami sempat merasa kebingungan karena jalanan yang dilalui sepi banget. Apalagi, perumahan elit ini masih memiliki banyak area tanah kosong yang belum dibangun. Setelah sempat salah belok, kami akhirnya keluar dari perumahan ini dan masuk ke Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan. Dari sini kami terus mengikuti jalan sampai tiba di Jl. Raya Ciapus. Sebenarnya, kalau dari awal kami lewat Jl. Kapten dan diteruskan ke Jl. Raya Ciapus, mungkin kami tidak akan banyak kebingungan karena jalan ini memang jalan ramai. Kadang-kadang Mbah Google kurang tepat dalam memilihkan jalan. Ya sudah, lah ...
Sesampainya kami di Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, kami menemukan bahwa pura ini sedang direnovasi dan tidak boleh dikunjungi oleh wisatawan. Hanya umat Hindu yang akan berdoa saja yang boleh masuk kompleks. Yah ... kecewa hati kami. Kata bapak penjaganya, kemungkinan renovasi baru selesai akhir tahun ini.
Sayang, cuma bisa lihat dari luar ...
Karena masih siang hari, kami langsung putar otak mencari tempat wisata lain yang bisa dikunjungi, Setelah browsing sana sini, kami memutuskan untuk mengunjungi Curug Nangka. Mobil langsung bergerak menuju ke Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Curug Nangka dan Curug Daun

Kasus karcis masuk dan parkir yang menyebalkan

Perjalanan naik mobil dari Pura Jagatkartta ke gerbang masuk Taman Nasional Gunung Halimun Salak hanya perlu waktu 15 menit. Cukup dekat. Tidak salah kami langsung putar haluan kemari. Tapi soal biaya yang kami keluarkan untuk masuk ke dalam taman nasional membuat kami bertanya-tanya tentang kebijakan pemerintah setempat terhadap pengembangan wisata.  Ada dua gerbang masuk ke dalam Taman Nasional, yang jaraknya hanya sekitar 20 meter. Masing-masing meminta bayaran sebelum mengijinkan kami untuk lewat.
Di gerbang pertama, masing-masing penumpang mobil dikenai biaya pengunjung sebesar Rp 7.500,- tanpa biaya mobil. Katanya, gerbang pertama menarik dana untuk pembangunan masyarakat sekitar. Kami mendapatkan karcis sebagai bukti bayar sesuai dengan jumlah uang yang kami bayar.
Gerbang pertama menuju kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Di gerbang kedua, masing-masing penumpang dikenai biaya Rp 10.000,- dan tiket parkir mobil seharga Rp 10.000,-. Jadi totalnya Rp 40.000,- karena kami bertiga plus satu mobil. Tadinya kami tidak diberi tiket bukti bayar, dan disuruh untuk langsung jalan. Tapi, saya protes dan minta karcis, dengan alasan, saya menulis blog wisata dan saya mau simpan karcis masuknya sebagai kenang-kenangan. Petugas yang menerima uang lalu kasak-kusuk dengan rekannya di dalam loket cukup lama, dan kemudian datang sambil membawa karcis yang sudah digulung-gulung. Ketika mobil sudah melaju, baru saya buka gulungan tiket itu. Kami membayar Rp 40.000,- tapi karcis yang diberikan ke kami hanya 3 lembar. Itupun, terdiri dari satu lembar karcis parkir seharga Rp 10.000,- dan dua lembar karcis masuk wisatawan seharga Rp 7.500,-. Jadi, total jumlah uang yang tertera di karcis yang kami terima hanya Rp 25.000,-. Kemana yang Rp 15.000,- sisanya? Menyebalkan sekali!
Ketika parkir, kami sempat sebal juga ketika tukang parkir ngotot minta Rp 15.000,- untuk jasa parkir. Dia bilang, biaya parkir yang diminta di gerbang depan tidak berlaku di dalam area Taman Nasional. Waduh! Kamipun terpaksa membayar sesuai permintaan tukang parkir itu, dengan tetap meminta karcis bukti bayar. Karcis yang diberikan tidak menerakan harga, kecuali angka Rp 10.000,- yang harus dibayarkan jika karcis hilang. Ckckck ... gimana mau nyaman berwisata kalau serasa dirampok begini. Untung kami tidak bersama wisatawan asing, bisa-bisa dirampok habis-habisan nih.

Trekking singkat di tengah mendung dan gerimis

Karena kami datang di bulan Februari, memang wajar kalau mendung menggelantung di langit selama perjalanan kami. Bahkan, saat kami hendak mulai trekking, gerimis sempat turun. Tadinya sempat ragu-ragu untuk naik ke curug, apalagi karena ada satu teman yang mendadak sakit perut. Tetapi, sayang kalau sudah masuk ke dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak namun tidak melihar curug. Jadinya saya dan satu orang teman yang tidak sakit perut memutuskan untuk naik ke atas. Rencananya, kami cuma mau foto-foto di Curug Nangka saja.
Camping Ground.
Sebenarnya, ada tiga air terjun di area Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini. Curug Nangka adalah yang paling rendah. Di atasnya ada Curug Daun. Paling atas adalah Curug Kawung. Kalau dilihat dari jaraknya, sebenarnya jalur trekking ini relatif dekat dan ringan. Tapi kalau di cuaca gerimis, memang jadinya agak memberatkan.
Jarak dari tempat parkir mobil ke Curug Nangka sebenarnya cukup dekat. Dengan jalan yang sedikit mendaki, cukup dibutuhkan waktu sekitar 20 menit jalan kaki santai. Walau jalannya menanjak, namun tidak terlalu terjal. Untuk menuju ke curug, kami harus melewati bumi perkemahan (camping ground) yang ada di dekat mushola dan WC umum yang tidak nampak terawat.
Untuk tiba di Curug Nangka, kami harus menuruni jalan sempit dan menyusuri sungai kecil, terusan dari curug itu. Persis ketika kami hendak menyeberang sungai, ada bapak-bapak yang meminta kami untuk tidak melanjutkan perjalanan karena jalannya licin dan sudah gerimis lumayan deras. Dikhawatirkan mendadak hujan deras dan jalannya menjadi licin serta sulit dilalui. Apa boleh buat. Kami pun berbalik arah dan batal melihat dari dekat Curug Nangka.
Curug Nangka dari kejauhan.
Jadi, kami malahan naik ke Curug Daun karena jalannya lebih lebar dan tidak perlu menyusuri tepi sungai yang licin. Jarak dari Curug Nangka ke Curug Daun cukup dekat, sekitar 7 menit jalan kaki. Sudah pasti jalannya memanjak, tetapi tidak terlalu terjal. Dalam perjalanan menuju Curug Daun, kami masih sempat melihat Curug Nangka dari jauh, dan bahkan melewati bagian atas dari Curug Nangka. Memang, seluruh curug di sini merupakan satu aliran sungai dari puncak Gunung Salak.
Curug Daun relatif landai. Di bagian bawahnya ada kolam kecil yang bisa dipakai untuk berenang, sedangkan di bagian atasnya sangat luas dan landai, sehingga lebih aman untuk keluarga yang datang bersama anak kecil. Kalau takut melompat-lompat di batu-batu di sungai dan kolam di bawah air terjun, pengunjung masih bisa jalan-jalan di pinggir sungai di bagian atas curug sambil merendam kaki. Kalau ada banjir bandang, areal di sekitar sungai yang relatif terbuka membuat pengunjung memiliki kesempatan yang lebih baik untuk lari ke pinggir daerah aliran sungai.

Curug Daun yang ramai.
Sebenarnya, dari Curug Daun pengunjung masih bisa berjalan sekitar 1 kilometer ke atas (sekitar 20 menit jalan kaki) menuju Curug Kawung. Akan tetapi, mendung yang semakin gelap membuat kami khawatir akan hujan deras. Jadi, kami lalu turun dan melanjutkan perjalanan menuju tujuan berikutnya. Jam setengah empat sore, kami keluar dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

(bersambung)

0 Komentar:

Posting Komentar