30 Desember 2017

Ternyata, naik bus ke desa-desa di Perancis timur juga bisa menjadi petualangan tersendiri. Selain susah menemukan orang yang bisa bahasa Inggris (termasuk sopir bus), ketidaktahuan tentang trayek, nama jalan, dan juga serba-serbi perusahaan transportasi setempat juga bisa menjadi sumber kebingungan. Untuk informasi yang sifatnya lokal di kota kecil atau desa, browsing pakai bahasa lokalpun juga tidak terlalu membantu. Tanya ke orang juga untung-untungan. Yah, itulah seninya jalan-jalan ke desa di luar negeri.
Bus yang mengantar kami ke Eguisheim.
Sebelum berangkat ke Perancis, kami sudah mencari tahu tentang desa Eguisheim. Gambar tentang Eguisheim sih, melimpah di internet. Tapi petunjuk kendaraan umum untuk ke sana sedikit banget. Ada berbagai pilihan, tapi kami merasa kurang mantap dengan jadwal bus yang kami dapatkan. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengirim email ke Office de Tourisme – Eguisheim untuk menanyakan jadwal PP bus dari Colmar ke Eguisheim. Alamat emailnya ada di website resmi pariwisata desa Eguisheim di http://www.ot-eguisheim.fr/en/. Setelah mendapatkan jawaban dari kantor pariwisata tersebut, barulah kami mengatur jadwal keberangkatan menuju Eguisheim.
Karena kami datang di awal musim gugur, bukan di musim liburan, jadwal busnya kurang cocok untuk turis. Bus dari Colmar menuju Eguisheim paling pagi adalah jam 12 siang. Busnya bernomer 208. Tidak ada bus yang lebih pagi. Ya sudah, jadinya kami jalan-jalan ke pasar di Colmar dan foto-foto dulu di tempat-tempat cantik sebelum ke tempat pemberhentian bus.
Begitu sampai di daerah pemberhentian bus, ternyata mencari halte yang tepat juga menjadi PR tambahan bagi kami. Katanya halte bus untuk ke Eguisheim terletak di dekat gedung Teater. Nah, ternyata, gedung Teater letaknya di pertigaan. Memanjang di ketiga jalan ini, ada beberapa  halte bus untuk perusahaan yang berbeda-beda, dan untuk jalur yang berbeda-beda, dan semuanya menggunakan nama halte pemberhentian Teater. Terus, di masing-masing jalan, halte selalu ada di kedua sisi jalan. Lha, kami harus menunggu di mana?
Gedung teater Colmar yang ada di pertigaan.
Kami lalu bertanya ke beberapa orang. Ada mbak-mbak yang bisa bahasa Inggris, tapi ternyata turis lokal yang juga tidak tahu bus menuju Eguisheim. Ada bapak-bapak tua yang sedang duduk-duduk di salah satu halte, yang tidak bisa bahasa Inggris, tapi mau membantu mencarikan haltenya. Masalahnya, dia juga tidak tahu yang mana haltenya. Ada gerombolan mahasiswa, dan ada juga remaja pacaran, semuanya kami tanya, tapi tidak ada yang tahu bus yang menuju ke Eguisheim.
Akhirnya, waktu ada sembarang bus berhenti di salah satu halte, saya langsung iseng bertanya ke mbak-mbak yang jadi kenek bus. Eh, ternyata dia bilang bis ke Eguisheim itu jarang, karena itu bus regional. Sedangkan perusahaan bus tempat dia bekerja adalah bus kota. (Jadi, bus yang menuju Eguisheim berada di bawah pengawasan pemerintah provinsi, sementara bus yang umumnya mondar-mandir di Colmar adalah bus di bawah pengawasan pemerintah kota.) Terus dia menyuruh kami menunggu persis di pertigaan karena seharusnya bus itu akan muncul tepat di situ.
Setelah selama sekitar satu jam kami kerjanya bolak-balik di pertigaan, ke arah sana lalu kembali lagi, ke arah sini, terus memutar lagi, akhirnya kami menunggu tepat di pertigaan. Tak lama, bus dengan nomer 208 muncul di pertigaan dan langsung berbelok menuju ke ... seberang jalan dari tempat kami berada. Berhentinya di halte yang agak jauh pula! Buru-buru kami lari menyeberang jalan – padahal lampu petunjuk jalan menunjukkan warna merah untuk penyeberang jalan. Yah, namanya juga turis yang takut ketinggalan bus. Untung jalanan relatif sepi. Dan untungnya, orang Perancis (termasuk di Paris) tidak terlalu kaku dengan rambu-rambu lalu-lintas. Kalau di Jepang atau di Singapura, kami bisa langsung ditangkap polisi.
Jadi, kemana kita?
Dan ternyata ... di halte tempat bus ini berhenti, ada nomer 208 tertera di situ. Sayangnya, waktu kami mondar-mandir, kami tidak melihat nomer ini di sini. Huh! Mungkin kurang cuci mata. Dan setelah kami ikut antrean orang-orang yang akan masuk ke dalam bus, barulah kami tahu mengapa penduduk lokal kebanyakan tidak tahu tentang bus ini. Mayoritas orang yang naik bus ini adalah turis.
Walau sopir bus merangkap keneknya cuma bisa bahasa Inggris pas-pasan, tapi para calon penumpang tetap menghujani dia dengan pertanyaan dengan bahasa Inggris. Berdasarkan ilmu cenayang hasil browsing-browsing, menurut saya, penduduk lokal Colmar jarang ke Eguisheim karena di desa itu memang tidak ada apa-apa yang menarik untuk orang lokal. Kalau tujuannya adalah untuk wisata, mereka memilih naik mobil pribadi atau sepeda. (Naik sepeda dari Colmar ke Eguisheim sekitar 40 menit, kalau menurut GoogleMaps.)
Harga tiket Colmar – Eguisheim adalah EUR 16,20 untuk bertiga, pulang pergi. Bus dari Colmar ke Eguisheim memakan waktu sekitar 30 menit. Kenapa hampir sama dengan jangka waktu kalau naik sepeda? Karena kalau naik sepeda, orang akan lewat jalan lurus yang membelah kebun anggur. Jalan yang lewat kebun anggur nggak mungkin dilewati bus. Kalau naik bus, busnya muter-muter dulu karena dia akan mengantar orang ke dusun-dusun yang ada di sekitar Colmar. Kalau naik mobil pribadi tapi lewat jalan nasional, kata GoogleMaps, hanya membutuhkan waktu 18 menit.
Selama pemandangannya cantik, mau lewat mana saja juga okeh.
Nah, sesampainya di tempat tujuan, turis-turis langsung menghujani sopir bus dengan pertanyaan tentang kedatangan bus yang akan mengantar mereka kembali ke Colmar. Dengan bahasa Perancis campur bahasa Inggris campur bahasa tarzan, si sopir menerangkan bahwa jam 17:10 dia akan kembali untuk menjemput para turis. Okeh! Jadi ada waktu sekitar empat setengah jam untuk jalan-jalan di desa Eguisheim. Jadi, kami lalu menghabiskan waktu empat setengah jam di Eguisheim. Ceritanya sudah diposting di artikel sebelumnya, ya.
Jam lima kurang, turis-turis sudah berkumpul di tempat yang ditentukan. Tidak hanya turis berbahasa Inggris, turis-turis berbahasa Cina juga ikutan antre. (Padahal waktu berangkat saya tidak melihat mereka. Mungkin mereka berangkatnya pakai taksi, pulang ke Colmar baru naik bus.) Oh ya, ada juga ibu-ibu yang berangkat ke Eguisheim bersamaan dengan saya di bus, tapi pulangnya naik taksi karena ingin pulang lebih awal. Entah kenapa, kami bisa sempat saling ngobrol waktu mampir ke salah satu pabrik wine.
Tepat jam 17:10, bus datang. Kami segera antre untuk masuk bus. Di perjalanan, kami sempat berhenti di sebuah sekolah, dan ikut mengantar beberapa pelajar SD ke rumah. Rumah mereka letaknya di desa-desa lain di sekitar Colmar yang dilewati bus ini. Desa mereka ini tak kalah cantik dibandingkan dengan Eguisheim dan Colmar. Bahkan, ada desa yang punya alun-alun kecil dengan pancuran di tengahnya. Ada juga desa yang punya alun-alun mini dengan patung yang cantik. Sayangnya, karena busnya cuma berhenti sebentar dan posisi duduk saya tidak pas untuk mengambil gambar, ya tidak ada foto-fotonya. Desa mereka ini umumnya jalannya sempit banget, sampai bus ini kalau mau belok pelan-pelan banget; karena kalau salah belok, bisa menyerempet dinding rumah orang.
Kebun anggur di sepanjang jalan.
Selain pemandangan desa-desa kecil di sekitaran Colmar, sudah pasti di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan kebun anggur. Eguisheim dan Colmar terletak di Route de Vin atau jalur anggur, dimana daerah ini memang dikenal sebagai penghasil wine terenak di Perancis timur. Jadi, kebun anggur menjadi pemandangan wajib di sekitar sini.
Jam 17:45, kami diturunkan di halte Teater. Mayoritas turis sudah turun di stasiun kereta api, mungkin lanjut ke kota lain. Yang turun di halte Teater hanya kami bertiga. Ya sudahlah, yang penting petualangan ke Eguisheim sudah selesai dengan lancar. Sisa waktu yang ada, kami gunakan untuk muter-muter di kota tua Colmar sampai bego. Soalnya ... besok kami sudah harus berangkat ke Paris!

(Bersambung.)

4 Komentar:

  1. Seru banget bisa jalan2 ke Paris. Liat suasana pedesaan di luar negeri...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama serunya dengan lari² mengejar bus AKAP waktu kesorean di Trowulan, Jawa Timur, padahal mau menginap di Solo, Jawa Tengah. Hahaha!

      Hapus
  2. Disana desanya rapi2 yaa.. rumahnya juga cantik2..

    Wah nyebrang sembarangan, untung gak dicyduk polisi :D

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha! Orang Perancis biasa nyeberang jalan sembarangan, kayak orang Indonesia. Jadi serasa orang lokal ...

      Hapus