1 Januari 2014

Hari 4
25 Desember 2013
Little India dan Fort Canning Park: Hari Terakhir di Singapura

Hari ini, ada satu hal yang tidak boleh saya lewatkan: misa Natal berbahasa latin di St. Joseph’s Church. Karena tujuan saya datang ke Singapura adalah merayakan Natal, sudah pasti misa di gereja tidak boleh terlewatkan. Karena misa baru dimulai pukul 11:00, saya punya waktu untuk packing.

Packing? Iya, lah! Supaya tidak perlu membayar lebih, saya hendak check out sebelum berangkat ke gereja dan menitipkan koper ke resepsionis supaya bisa berjalan-jalan dengan tenang. Enaknya hostel untuk backpackers, pihak manajemen sudah tahu betul sifat-sifat para backpackers sehingga mereka memang memberikan jasa penitipan koper gratis untuk penghuni yang datangnya sebelum waktu check-in atau yang masih ingin belum mau membawa pergi kopernya meskipun sudah check-out. Selesai beres-beres dan check-out, saya pun berjalan menuju ke gereja.

Misa dimulai tepat jam 11:00. Jangan tanya bagaimana lagu-lagunya, soalnya saya nggak bisa ngikuti. Seumur-umur, saya belum pernah ikut misa bahasa latin! Untung homilinya pakai bahasa Inggris, kalau tidak saya udah bengong sepanjang misa satu setengah jam ini. Pastur yang mempersembahkan misa menginformasikan kalau misa yang diselenggarakan ini menggunakan gaya misa yang diselenggarakan di tahun 60-an. Dia juga menyambut para turis (yang rupanya merupakan bagian cukup besar dari umat yang berkumpul saat itu) yang merayakan Natal di Singapura.

Interior St. Joseph's Church. Ini sebelum misa dimulai.
Kalau diingat-ingat, misa ini persis seperti cerita ayah saya atau guru agama saya di SMP tentang misa jaman dulu. Pasturnya menghadap ke arah tabernakel dan membelakangi umat. Perkecualian adalah saat homili. Umat hampir-hampir tidak terlibat di dalam misa, kecuali untuk berdiri dan duduk. Walau umat bisa ikut menyanyi, tapi posisinya lebih sebagai pelengkap saja.

Selesai misa, saya berjalan menuju Fort Canning Park. Jalan kaki? Yap, soalnya jaraknya lumayan dekat. Satu jam jalan kaki, itu sudah termasuk berhenti untuk foto-foto dan mampir ke Gereja Armenia serta Singapore Philatelic Museum. Oh ya, saya juga melewati Freemason’s Hall, Peranakan Museum, dan Bible House, tapi saya tidak masuk ke ketiga tempat tersebut. Kalau tidak pakai berputar-putar untuk melewat tempat-tempat tadi, sebenarnya setengah jam juga cukup untuk berjalan dari St. Joseph’s Church ke Fort Canning Park, soalnya sebenarnya saya melewati jalan masuk ke taman tersebut sampai dua kali.

Singapore Philatelic Museum
Untuk masuk ke Singapore Philatelic Museum sebenarnya seharusnya bayar. Akan tetapi, menyambut Natal, museum tersebut dibuka gratis di tanggal 25 Desember kemarin. Tentunya sebagai penggemar perangko, saya tidak melewatkan kesempatan ini untuk melihat-lihat perangko yang dikoleksi di museum tersebut.

Fort Canning Park terletak di sebuah bukit yang konon dulunya disebut Bukit Larangan oleh para penduduk asli Singapura. Saat Sir Raffles pertama kali datang ke Singapura, para penduduk ketakutan untuk mengantarkannya ke bukit ini karena dianggap keramat. Menurut bukti arkheologis, bukit ini memang merupakan tempat istana kerajaan Temasek yang sempat berkembang maju di abad ke-14. Disini ada tempat yang disebut sebagai Keramat Iskandar Syah, yang dianggap sebagai makam dari raja terakhir kerajaan Temasek yaitu Iskandar Syah. Tapi ngomong-ngomong soal larangan, di tengah taman kota ini ada tempat penyimpanan cadangan air negara (waduk) yang dijaga ketat dan orang-orang yang tidak berkepentingan dilarang untuk mendekat.

Salah satu bagian dari Fort Canning Park.
Fort Canning Park pada dasarnya adalah taman luas yang memiliki banyak pohon-pohon asli (yang kabarnya sudah ada dari jaman kerajaan Temasek masih aktif) dan taman-taman kecil dengan tema tertentu. Untuk pasangan yang berminat untuk bermesraan, tempat ini ideal untuk berduaan karena banyak tempat yang tersembunyi dibalik pepohonan. Adapun untuk kelompok penduduk yang hendak beraktivitas, pemerintah membangun beberapa gazebo dan tempat duduk dimana penduduk bisa berkegiatan seperti perkumpulan remaja, kegiatan latihan tari, dan lain-lain.

Fort Canning Center.
Tempat yang paling cocok untuk foto-foto adalah Fort Canning Green, yaitu halaman luas di depan bangunan tua yang disebut sebagai Fort Canning Center, dan Raffles Terrace. Rafflece Terrace adalah halaman dari rumah Sir Raffles di area ini. Waktu saya berkunjung, Raffles House sedang digunakan untuk acara kawinan, jadi tidak bisa dimasuki dengan leluasa.

Adapun Fort Canning sendiri adalah benteng pertahanan kerajaan Inggris saat pertama kali menguasai Singapura. Sisa-sisa benteng ini ada di belakang Fort Canning Center. Battle Box dan Fort Gate adalah dua tempat yang banyak dikunjungi oleh wisatawan.

Raffles Terrace, di depan Raffles House.
Dari Fort Canning Park, saya melewati Stamford Green dan menuruni eskalator (Benar! Tangga berjalan di ruangan terbuka di tengah taman!) menuju National Museum of Singapore. Saya tidak masuk ke sini, tapi cukup foto-foto di halaman depan. Saat itu, sedang ada pameran seni modern yang diikuti oleh beberapa seniman ASEAN.

Karena saya sudah kelaparan, saya langsung ke Dhoby Ghaut MRT Station, menuju ke Little India. Sesuai rencana, hari ini saya hendak makan siang di  Little India, karena sebelumnya sudah makan di Bugis dan Chinatown. Biar lengkap petualangannya.

Saat saya berkunjung ke Singapura, di Little India sedang dibangun MRT Station baru. Jadi ada beberapa daerah yang ditutup dan di beberapa tempat ada banyak kumpulan pekerja bangunan yang semuanya adalah orang India.

Abdul Gaffoor Mosque.
Tempat saya makan siang adalah sebuah warung India muslim yang letaknya persis di sebelah Abdul Gaffoor Mosque, yang mendapatkan Architecture Heritage Award dari pemerintah Singapura di tahun 2003. Arsitektur mesjid ini perpaduan antara Arab dan India. Dibandingkan masjid-masjid lain di Singapura, secara arsitektur bangunan ini yang paling menarik. Saya makan salah satu pastry goreng daging yang harganya hanya SGD 0.70! Sudah mengenyangkan. Rasanya sih biasa banget, malah kebanyakan minyak. Oh ya, tempat saya makan ini adalah tempat makan murah meriah. Saya makan bersama dengan para tukang bangunan yang sedang beristirahat. Saya satu-satunya yang perempuan (dan bukan India) di situ. Satu hal yang menarik di sini adalah, saat saya tanya makanan apa yang dijual di situ pakai bahasa Inggris, yang jaga kebingungan. Saat saya tanya pakai bahasa Indonesia, eh ... penjaganya malah bisa menjawab pakai bahasa Melayu.

Di daerah saya makan ini ada beberapa rumah makan murah meriah. Di seberang jalan ada rumah makan khas Jawa Timuran. (Lah!) Ada juga beberapa hostel backpacker di dekat-dekat situ.

Setelah makan, saya langsung berjalan menuju kuil-kuil Hindu yang utama di Little India ini. Untuk itu, saya harus kembali ke Little India MRT Station sebelum berbelok ke arah kuil-kuil tersebut. Yang unik dengan Little India MRT Station adalah, di dekat situ ada Kerbau Hotel, ada Kerbau Road, dan ada Buffalo Road. Oh ya, di dekat situ ada pusat perbelanjaan elektronik dan ada banyak tempat makan.

Sri Vadapathira Kaliamman Temple
Setelah nyasar-nyasar, akhirnya saya tiba di Sri Vadapathira Kaliamman Temple dan Sri Srinivasa Perumal Temple. Sri Vadapathira Kaliamman Temple pertama kali didirikan sekitar tahun 1870 untuk menghormati Dewi Kaliamman. Saat saya datang, kuil ini tidak menerima pengunjung. Sri Srinivasa Perumal Temple didirikan tahun 1855 untuk menghormati Dewa Perumal (Dewa Wisnu). Saat saya datang, kuil ini menerima pengunjung. Gopuram kuil ini tinggi dan ukirannya detil. Tak heran Sri Srinivasa Perumal Temple termasuk dalam monumen nasional Singapura.

Saat saya datang, pengurus Sri Srinivasa Perumal Temple sedang bersiap-siap untuk menyelengarakan Puja, atau perayaan rutin mereka. Jadi saya tidak bisa sembarangan memfoto-foto interior kuil tersebut. Ada orang yang sedang menata-nata bunga dan dedaunan, ada pula yang sedang menyiapkan kain-kain, entah untuk apa.

Sri Srinivasa Perumal Temple
Dari Little India saya jalan kaki menuju Arab Street di Bugis. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya saja tidak terlalu nyaman karena melewati tempat pembangunan MRT Station yang baru. Sebelum kembali ke hostel untuk mengambil koper, saya mampir ke rumah makan Zamzam yang terkenal itu untuk makan Murtabak Rusa seharga SGD 10. (Porsinya besar, bisa untuk berdua. Kalau mau yang lebih murah, boleh coba Murtabak lain. Pilihan rasanya: Mutton, Beef, Chicken, dan Sardine. Harganya mulai SGD 6.) Rumah makan ini letaknya persis di seberang Sultan Mosque, jadi tidak mungkin terlewatkan.

Selesai makan, saya kembali ke hostel untuk mengambil koper dan bergerak menuju bandara. Saat saya mengambil koper, waktu sudah menunjukkan jam 18:30. Pesawat saya berangkat jam 20:25 jadi saya masih punya cukup waktu kalau antrean check in dan imigrasi lama.

Kolam ikan koi di Changi Airport.
Jam 19:30 saya sudah sampai bandara. Dan setelah urusan imigasi selesai, saya masih sempat jalan-jalan keliling Changi Airport. Changi Airport adalah tempat yang menyenangkan untuk menunggu keberangkatan ataupun transit. Ada internet station gratis, ada bioskop mini yang memutar film-film box office, ada taman terbuka di atap, dan ada taman dengan kolam ikan koi di lantai satu. Buat yang mau minum kopi atau makan, food court juga ada.

Akhirnya setelah waktunya tiba, saya boarding ke pesawat dan meninggalkan Singapura. Selesailah liburanku yang singkat. Masih ingin liburan lagi ...

(Selesai.)

0 Komentar:

Posting Komentar