23 Januari 2016

Kota Soe adalah kota yang terletak di dataran tinggi Soe. Karena posisinya yang tinggi inilah, Kota Soe dikenal sebagai kota yang dingin. Salah satu teman seperjalanan saya berulang kali mengatakan bahwa malam hari di Kota Soe bisa membuat tubuh menggigil.
Tapi jujur saja, malam hari di hotel bisa saya lalui dengan tenang. Bahkan, saya tidak merasa kedinginan. Padahal selimut dari hotel tidak terlalu tebal. Hujan yang turun di malam hari (dan kemudian di pagi hari saat waktu sarapan) juga tidak membuat saya merasa kedinginan. Mungkin ini efek rumah kaca? Atau efek terlalu lama bekerja di gedung di Jl. Sudirman Jakarta yang AC-nya di-stel standar bule?
Yang menyambut kami saat tiba di Kota Soe.
Kota Soe adalah kota kecil yang menjadi persinggahan sementara wisatawan yang hendak berkunjung ke desa-desa adat, atau untuk salah satu pos untuk proyek-proyek LSM di Timor Tengah Selatan. Jadi, saya tidak heran melihat adanya beberapa hotel bintang dua di Kota Soe ini. Rumah makan juga cukup lengkap, dari rumah makan padang, chinese food restaurant, warung sate, sampai penjual martabak bandung di pinggir jalan. Paling tidak, pengunjung tidak akan kesulitan untuk beristirahat dan makan kenyang di sini.
Tujuan utama kami ke Kota Soe sebenarnya adalah untuk berkunjung ke Desa Adat Fatumnasi. Desa adat ini terletak di daerah yang lebih tinggi lagi dibandingkan Kota Soe. Jadi kabarnya, hawa di sana lebih sejuk dibandingkan di Soe.
Sekitar jam 8:30 pagi kami check out dari hotel dan berangkat menuju Desa Fatumnasi. Tentunya kami naik mobil sewaan. Walau ada angkot yang menuju ke Desa Fatumnasi, namun jadwalnya tidak pasti. Selain itu, kami – tepatnya saya – tidak punya banyak waktu karena keesokan harinya saya sudah kembali ke Jakarta.
Pemandangan lembah cantik di Kilometer 12.
Jalan menuju Desa Fatumnasi tidak bisa dikatakan bagus. Walaupun jalan yang meliuk-liuk naik turun sering memberikan pemandangan yang menggugah hati, namun jalan yang sering kali berlubang atau becek memang membuat pikiran selalu waspada.
Tempat berhenti dimana wisatawan bisa mengaguni keindahan alam Timor Tengah Selatan adalah daerah yang sering disebut sebagai Kilo 12. Di sini wisatawan bisa mengagumi keindahan pemandangan lembah. Berdasarkan hasil browsing di internet, ternyata Kilo 12 ini menjadi salah satu pemberhentian wajib bagi wisatawan yang akan ke Desa Fatumnasi.
Setengah jam dari Kilo 12, kami menemukan hambatan besar yang membuat kami tidak dapat melanjutkan perjalanan. Jalan yang longsor hingga beberapa meter! Kalau kami naik mobil jeep atau mobil four-wheel-drive, kami pasti langsung meneruskan perjalanan. Tetapi dengan mobil avanza, kami terpaksa harus putar haluan kembali ke Soe. Padahal, elf angkutan umum jurusan Fatumnasi masih berani melewati jalanan longsor itu. Yah, mungkin itu artinya saya suatu saat harus kembali ke Pulau Timor untuk mengulang perjalanan untuk tiba di Desa Fatumnasi.
Jalan longsor menuju ke Desa Adat Fatumnasi.
Karena waktu kami jadinya masih lumayan banyak, kami terpaksa harus mencari akal untuk mengisi waktu. Ide yang muncul adalah: belanja. Yup, walau hari itu adalah satu hari setelah Natal, kami tetap mencoba peruntungan dengan mengunjungi pasar inpres Soe. Siapa tahu kami masih bisa mendapatkan kain tenun murah di pasar.
Pasar Soe di hari-hari Natal masih cukup ramai, namun di sana sini banyak terlihat kios-kios yang tutup. Setelah berputar-putar tanpa arah, akhirnya kami menemukan penjual kain tenun di bagian depan pasar, tepat di pinggir jalan raya. Dari sekian penjual kain, hanya ada dua yang membuka lapaknya. Jadinya, kami pun melihat-lihat kain, dan saya akhirnya membeli selendang tenun khas suku Boti. Untuk harganya, yah sudah pasti lebih murah dibandingkan harganya kalau beli di Jakarta. Selendang di sini ada yang dijual dari harga Rp 50.000,- hingga harga Rp 300.000,-, tergantung ukuran, kualitas dan jahitannya. Untuk kain, harganya bisa lebih mahal lagi.
Jualan kain di Pasar di Soe.
Selain kain, barang lain yang kami beli adalah alpukat. Kenapa alpukat? Karena bulan Desember adalah musim alpukat, dan alpukat hanya ada di daerah Soe. Alpukat tidak dijual di pasar, melainkan di pinggir jalan raya. Jadi, sambil pulang ke Kupang, mampirlah kami ke penjual buah di pinggir jalan. Kabarnya daerah Soe juga terkenal akan jeruknya, tetapi kami tidak melihat penjual jeruk saat itu.
Sebelum memasuki Kota Kupang, kami mampir sebentar ke Taman Wisata Alam Camplong, dimana di situ terdapat sumber air sekaligus kolam Oenaik. Taman Wisata Alam Camplong adalah salah satu tempat wisata favorit orang Kupang karena jaraknya dari kota tidak terlalu jauh. Karena malam sebelumnya ada hujan badai, saat kami datang taman wisata ini terlihat tidak rapi dengan beberapa pohon tumbang. Salah satu pohon tumbang masuk ke dalam Kolam Oenaek dan memberikan kesan tidak terawat. Kolam oenaek biasa dipakai oleh anak-anak penduduk sekitar berenang, semetara di dekat mereka ibu-ibu mencuci baju.
Taman Wisata Camplong: Kolam Oenaek yang serbaguna.
Di taman wisata ini kami menyempatkan diri untuk “piknik”, yaitu makan siang yang tertunda dengan bekal yang dibeli di rumah makan padang di Soe. Saya masih sempat keliling melihat-lihat hutan dan bukit karang bergua-gua di sini dan juga melewati kandang buaya yang penuh sampah.
Karena kami pulang cukup cepat, maka kami masih sempat keliling kota Kupang sekaligus belanja oleh-oleh (saya sih, yang belanja), dan lalu ... teman-teman saya kembali bekerja karena keesokan harinya sudah ada focus group discussion menanti. Nggak di awal, nggak di akhir liburan, saya kembali menemukan orang-orang giat bekerja. Berhubung sore hujan cukup deras, maka saya tidak sempat jalan-jalan sore di Pantai Lasiana, dan memilih untuk tidur cepat. Ah, sayang besoknya sudah harus pulang ke Jakarta!


***

0 Komentar:

Posting Komentar