4 September 2016


Setelah Sapporo, tujuan selanjutnya adalah Furano. Furano adalah daerah pedesaan di bagian tengah Hokkaido yang terkenal dengan ladang bunga lavender. Selain ladang bunga lavender, petani di sini juga menanam berbagai jenis bunga dan sayur-sayuran. Umumnya, para wisatawan menginap di sekitar kota Furano atau kota Biei.
Sawah di daerah Kami-Goryo, Furano.
Nah, berhubung saya datang di awal musim bunga, yaitu bulan Juli, harga hotel sudah mulai meroket. Bukan apa-apa, awal bulan Juli hingga akhir bulan Agustus adalah musim lavender, dimana puncaknya adalah akhir Juli. Dengan jangka waktu yang relatif pendek, banyak turis yang berlomba-lomba datang untuk melihat bunga lavender mekar di musimnya. Tidak heran, bulan-bulan ini adalah waktunya hotel menambang emas dari para turis, baik asing maupun domestik.
Terkait dengan permasalahan anggaran, maka saya memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan di daerah pertanian di Kami-Goryo, Furano. Pertamanya sempat khawatir juga karena transportasi umumnya agak susah. Mana taksi di daerah Furano jarang banget. Tapi dengan pengaturan jadwal yang baik, saya masih bisa mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitaran Furano, sekaligus dapat bonus menikmati kehidupan pedesaan yang otentik di Hokkaido.
Saya menginap di Goryo Guesthouse, desa Kami-Goryo, Furano. Penginapan yang letaknya lumayan terpencil ini dikelola oleh sepasang suami istri. Mereka yang melakukan berbagai kegiatan dari membersihkan bangunan, mencuci baju, masak, dan juga mengurusi para tamu. Di tempat ini hanya ada dua kamar, masing-masing terdiri dari 8 kasur/tempat tidur. Satu kamar khusus perempuan, dan kamar yang satunya lagi campuran. Saya tinggal di kamar campuran selama tiga malam.
Goryo Guesthouse tempat saya menginap.
Akses kendaraan umum ke tempat penginapan ini ada dua, yaitu bus dan kereta. Bus “Goryo Kyu Sen” dari stasiun Furano berangkat hanya tiga kali sehari, paling sore jam 16:10. Dari pemberhentian terakhirnya, kita tinggal jalan kaki sekitar 15 menit. Kalau mau naik kereta, bisa turun di stasiun Nunobe, lalu jalan kaki sekitar 45 menit.
Karena saya berangkat dari Sapporo jam 14:30, maka saya sampai di Furano jam 16:34. Jujur saja, saya cuma beli tiket kereta Sapporo – Furano, karena saya pikir saya akan naik taksi saja menuju tempat penginapan. Berdasarkan browsing-browsing di internet, uang di kantong masih cukup untuk naik taksi. Tapi, begitu saya keluar kereta di Furano Station, saya berubah pikiran. Berhubung stasiunnya sepertinya kecil, kok saya jadi ragu-ragu bisa dapat taksi.
Alkisah, begitu di depan mas-mas penjaga tiket di pintu gedung stasiun, saya malah tanya kereta yang menuju ke Nunobe. Mas-mas yang baik itu langsung menunjuk ke ... kereta yang tadi saya naiki! Wah, buru-buru saya balik ke kereta saya itu. Sambil lari-lari naik-turun tangga, saya angkat koper saya – yang untung beratnya nggak sampai 7 kilo. Untungnya, kereta saya berhenti cukup lama, sekitar 5 menit lebih. Jadinya saya masih sempat masuk lagi.
Stasiun Nunobe.
Dengan berpatokan pada pengumuman di kereta, saya akhirnya turun dengan selamat di stasiun Nunobe. Saya masih sempat foto-foto sebelum keretanya berangkat. Nah ... begitu masuk ke dalam gedung stasiun ... Lho? Nggak ada orang sama sekali. Saya ketok-ketok pintu-pintu yang ada. Sampai saya sengaja bolak-balik di depan kamera keamanan, siapa tahu ada orang yang datang. Wah, tetap tidak ada orang. Padahal, kan tiket kereta saya cuma Sapporo – Furano. Yang dari Furano ke Nunobe saya belum bayar karena waktunya mepet banget. Waduh, jadi penumpang kereta gelap dong. (Pengalaman saya sebelumnya, kalau kita kurang bayar, di stasiun tujuan akhir, kita tinggal membayar kekurangannya di mesin “Fare Adjustment”. Rupanya di stasiun-stasiun terpencil, pembayaran kekurangan ini dilakukan di atas kereta. Tapi waktu itu saya belum tahu. Di kesempatan selanjutnya, saya menyerahkan tiket kereta ke masinis kereta persis sebelum turun kereta.)
Akhirnya, karena kebelet, saya memutuskan untuk mencari WC. Ternyata WC ada di luar gedung, tidak dikunci, dan tidak ada air. Adanya hanya lubang di lantai yang dalam banget, dan tempat pijakan kaki di kiri-kanan lubang. Ini WC jongkok yang tradisional banget. Apapun yang kita buang ke dalam lubang WC itu, akan langsung meluncur ke dasar dan tidak perlu digelontor air. Hiii .... (Nggak bau lho. Mungkin karena udaranya sangat kering.)
Dengan panduan GoogleMaps, saya berjalan kaki dari Nunobe Station ke Goryo Guesthouse. Jalan kaki selama 45 menit. Sempat melewati pinggiran jalan tol dan jembatan yang menyeberangi Sungai Sorachi. Tapi setelah menyeberang sungai, saya berbelok memasuki daerah pertanian, dan di situlah saya benar-benar merasa takjub dengan pemandangannya. Kiri-kanan saya adalah sawah dan ladang bawang.
Pemandangan di sepanjang jalan menuju penginapan.
Sepanjang perjalanan saya, saya hanya bertemu dengan satu orang saja. Waktu saya berjalan di daerah persawahan, saya disapa oleh seorang bapak-bapak yang langsung menebak bahwa saya akan menginap di Goryo Guesthouse. (Mungkin karena saya membawa koper, yah.) Beliau lalu menunjukkan arah menuju ke tempat penginapan. Selain bapak itu, tidak ada satupun orang saya temui.
Saya sampai di Goryo Guesthouse jam 6 sore. Menurut informasi di internet, penginapan tempat saya menginap ini juga menyediakan cafe. Sayangnya, waktu saya tiba, makanannya sudah habis. Padahal saya kelaparan dan belum makan malam. Apa boleh buat, saya cuma pesan segelas teh jahe hangat dan kemudian makan wafer cokelat yang saya bawa dari Indonesia. Goryo Guesthouse ini jauh dari mana-mana, jadi jangan harap bisa lenggang kangkung ke warung untuk beli makanan dan minuman. Cadangan kue dan indomie adalah penting kalau mau menginap di sini.
Tetangga-tetangga terdekat kami.
Malam hari itu, salah seorang bapak yang sekamar dengan saya mengajak untuk melihat bintang di luar. Dia sendiri berasal dari Osaka, dan dia bilang, langit malam di Hokkaido termasuk yang paling bagus yang pernah dia lihat. Jadinya, saya, ibu pemilik penginapan, seorang bapak-bapak dari Tokyo, dan seorang mahasiswi (dari Pulau Honshu, tapi lupa nama kotanya) keluar bangunan dan memandangi bintang.
Saya langsung mengenali kumpulan bintang “Big Dipper”. Pemandangan langit malam hari di sini keren banget! Kebetulan tidak ada awan. Bintang-bintang terlihat jelas karena tidak ada gangguan cahaya dari perumahan. Sayangnya kamera saya tidak bisa dipakai untuk memotret bintang.
Tiba-tiba ada kehebohan diantara kami. Ternyata ...  ibu-ibu pemilik Goryo Guesthouse matanya minus tapi tidak punya kacamata! Cuma minus setengah, sih. Jadi dia masih bisa bawa mobil. Tapi tidak bisa melihat bintang. Aduh sayang sekali! Dia bilang, dia tidak pernah sadar kalau langit malam di Hokkaido ternyata begitu istimewa. Dia bilang minggu depan akan pergi ke kota untuk beli kaca mata. (Saya tidak tahu yang dimaksud kota itu di mana. Yang jelas sih bukan Furano. Kemungkinan Sapporo atau Asahikawa.)
Penanda halte bus (sebelah kiri) kalah mencolok dibandingkan iklan layanan masyarakat di dekatnya.
Desa Kami-Goryo adalah desa petani, bukan desa wisata. Semua keluarga di sini punya mobil untuk berpergian, dan sangat jarang yang bergantung pada kendaraan umum. Waktu saya turun kereta pun, saya adalah satu-satunya penumpang kereta yang turun di stasiun Nunobe. Waktu saya naik bus (di hari selanjutnya), yang naik bus hanya anak kecil yang berangkat/pulang sekolah, dan orang-orang tua yang mau kumpul-kumpul di kafe di kota Furano. Jadwal bus pun, disesuaikan dengan jadwal pulang/pergi anak sekolah. Makanya busnya cuma ada tiga kali dalam sehari.
Di sini mayoritas penduduknya adalah orang tua, ibu-ibu rumah tangga, dan anak-anak. Menurut bapak-bapak yang sekamar dengan saya, pemuda dan bapak-bapak di daerah sekitar penginapan lebih banyak mencari kerja di Pulau Honshu, terutama Tokyo, Kyoto, atau Osaka. Kalau tidak ada bisnis pariwisata seperti ladang lavender atau tempat ski (di musim dingin), penduduknya pasti sudah banyak berkurang.
Oh ya, karena ini pedesaan yang memang tidak disiapkan untuk turis, tempat makan dan convenient store sangat jarang. Bahkan, di sepanjang perjalanan naik bus dari dekat penginapan ke Stasiun Furano, vending machine penjual minuman masih bisa dihitung dengan jari. Baru setelah masuk wilayah kota saya melihat lebih banyak vending machine.
Jalan tol di dekat Stasiun Nunobe. Ini jembatan yang melewati Sungai Sorachi.
Kalau memang mau menginap di sini, sebaiknya menyempatkan beli makan malam waktu jalan-jalan. Kalau pas sial makanan di cafe habis, bisa-bisa tidak makan malam. Dan dengan bus Goryo Kyu Sen terakhir dari Furano Station berangkat jam 16:10, sementara jalan kaki dari Nunobe Station ke Goryo Guesthouse lamanya 40 menit melewati jalanan di tengah ladang tanpa lampu jalanan, kalau memang menggantungkan diri pada transportasi umum, waktu kita untuk belanja makanan sangat sedikit. (Bayangkan kalau pulangnya baru sekitar jam 7 malam. Terus pas jalan kaki dari Nunobe Station di tengah sawah, matahari mulai sembunyi di balik gunung. Walau relatif aman, agak serem juga yah jalan kaki sendiri cuma ditemani senter kecil.) Paling baik adalah beli makanan pas lagi makan siang dan dibawa pulang ke hostel untuk dipanasi. Bawa tupperware kecil ke mana-mana berguna dan tidak terlalu memberatkan, kok.
Menginap di Goryo Guesthouse adalah salah satu pengalaman yang sangat menyenangkan untuk saya, terutama karena saya jadinya tinggal di tengah desa Jepang yang otentik. Tapi tentunya, tujuan wisata saya di sini bukan hanya untuk ongkang-ongkang kaki di hotel. Ada banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi. Di artikel selanjutnya, saya akan menceritakan wisata keliling Furano naik bus.
(Bersambung.)

1 Komentar: