14 Oktober 2017

Setelah dirancang dari dua tahun yang lalu, disertai dengan banyak browsing tempat-tempat wisata, menabung, dan juga menghitung cuti, akhirnya tahun ini saya dan teman-teman bisa jalan-jalan ke Perancis. Jujur saja, ini adalah perjalanan yang paling jauh yang pernah saya jalani sampai saat ini. Harapannya sih, tahun-tahun berikutnya masih ada yang lebih jauh lagi. Hehehe ...
Sebetulnya, dulunya, saya dan teman-teman alumni CCF Indonesia (Centre Culturel Français d’Indonésie), yang sekarang namanya sudah berubah jadi IFI (Institut Français d’Indonésie), punya rencana untuk ramai-ramai berwisata ke Perancis. Kan sudah kursus bahasa Perancis selama sekitar empat tahun lebih, masa tidak pernah berkunjung ke negaranya. Cuma, berhubung keterbatasan gaji dan cuti, rencana ini selalu tertunda. Apa boleh buat, baru bertahun-tahun kemudian, tepatnya dua tahun yang lalu, kami mulai mengatur rencana untuk berangkat ke Perancis. Karena berbagai hal, akhirnya dari empat orang, cuma dua yang berangkat. Plus, kami ketambahan satu orang pecinta seni yang dulunya malahan belajar bahasa Italia. Jadinya kami bertigalah yang berangkat ke Perancis.
Demi melihat langsung Menara Eiffel!
Berdasarkan perhitungan biaya dan waktu, kami memutuskan untuk menjelajahi kota Paris dan satu daerah yang tidak terlalu luas. Setelah memilih-milih antara daerah Normandy, sekitaran Alsace, dan pantai-pantai di Perancis selatan, akhirnya diputuskan untuk berkunjung ke daerah Alsace. Alasannya, jaraknya tidak terlalu jauh dari Paris, jadi biaya transportasi bisa ditekan. Selain itu, di sini ada banyak lokasi wisata yang cantik-cantik.
Karena kami bertiga, maka saat melakukan pemesanan hotel, yang dicari adalah kamar untuk tiga orang. Sengaja kami tidak mau mencari kamar untuk dua orang plus extrabed, supaya semua orang bisa istirahat dengan nyaman. Semua hotel dipesan secara online, dan baru dibayar di tempat. (Kecuali satu, yang otomatis memotong kartu kredit seminggu sebelum check in.)
Itinerary kami bongkar pasang dari awal tahun sampai sekitar dua minggu sebelum berangkat. Tadinya tidak mau mampir ke Strasbourg, jadi dari Paris langsung ke Colmar. Terus pas mau mengajukan visa, Strasbourg dan Kehl di tambahkan, kunjungan ke Colmar dipersingkat. Setelah visa didapat, kunjungan ke Colmar diperpanjang lagi, dan masa tinggal di Paris dikurangi. Jadinya hotel-hotel kami sebetulnya baru dibooking satu bulan sebelum berangkat.
Andalan untuk jalan-jalan antar kota di Perancis: TGV.
Untuk transportasi antar kota, kami mengandalkan TGV, jaringan kereta cepat di Perancis. Semua tiket dibeli secara online dari Indonesia. Selain agar harganya lebih murah, juga untuk membuat kami lebih tenang karena pasti dapat tiket. (Sebetulnya, beli tiket kereta di tempat juga bisa, tapi mencari petugas stasiun yang bisa bahasa Inggris dengan cukup baik itu ternyata PR besar buat turis.) Oh ya, beli tiket TGV lebih deg-degan dibandingkan booking hotel. Soalnya, tiket promo TGV cepat habis. Waktu kami baru mau mengajukan visa, tiket TGV dari Paris ke Strasbourg yang jam 10-an masih ada harga diskonnya. Pas visa sudah ditangan, yang ada harga diskonnya di hari yang sama, tinggal yang jam 8-an. Terpaksa siap-siap berangkat pagi di hari itu.
Khusus untuk tiket pesawat, kami sudah cari-cari info dari setahun sebelumnya. Pada dasarnya, tiket pesawat ke Eropa tidak terlalu fluktuatif seperti tiket pesawat domestik. Artinya, beli setahun sebelumnya dan dua bulan sebelumnya, harganya sama saja. Kecuali ada promo, biasanya harga tiket tidak akan berubah. Jadi kami tidak buru-buru membeli tiket pesawat. Karena pekerjaan kami semua terkait dengan deadline kantor masing-masing (tanggal gajian, tanggal tutup buku, tanggal proyek berakhir), jadinya kami nggak mungkin mengejar promo gila yang memungkinkan pergi ke Eropa PP dengan tiket lima jutaan ya. Biasanya tanggalnya tiket murah nggak cocok dengan primbon ...eh, jadwal kantor. Tanggal sudah relatif fixed, jadi tinggal tunggu, tiket yang paling murah di hari itu maskapai apa.
Saat mengajukan visa, kami juga hanya menggunakan bukti booking tiket pesawat Qatar Airlines saja. (Saat itu, kita memang lebih berharap pakai Qatar Airlines karena jadwalnya pas: berangkat jam 00:20 dari Jakarta, sampai di Paris jam 13:35, jadi di hari yang sama kami sudah bisa menuju ke tempat wisata di daerah Paris. Dummy ticketnya dapat dari mana? Untung saja, salah satu teman saya punya langganan travel agent yang mau membantu. Lumayan, dummy ticket gratis nggak pakai ribet.
Untung-untungan untuk dapat tiket pesawat yang (cukup) murah.
Tiket betul-betul baru dibeli setelah visa keluar. Terus, sekitar sebulan sebelum berangkat, ada promo tiket Qatar Airlines. Diskonnya lumayan besar, maka kami sudah nggak pakai mikir lagi. Jadinya, tiket yang kami beli sama dengan bukti booking yang dipakai untuk mengajukan visa Schengen. Baguslah, paling tidak untuk urusan tiket pulang pergi sudah dipastikan tidak akan ada masalah di pihak imigrasi bandara.
Oh ya, kami mengajukan visa sendiri. Tidak lewat jasa pihak ketiga. Jadi, kami mendaftar secara online di websitenya TLS (agen resmi pengurusan visa Schengen Perancis dan visa Schengen Swiss di Indonesia), dan di hari yang sudah ditentukan, kami ke kantor TLS di Mega Kuningan, Jakarta, untuk interview, pengambilan data biometris, dan menyerahkan dokumen. Saran saya kalau mau mengurus visa Perancis: tidak usah pakai jasa pihak ketiga, soalnya gampang banget. Lagian, pakai agen atau tidak pakai agen, kita tetap harus datang langsung ke TLS dan antre. Kalau mau pakai agen, sebaiknya untuk pengurusan visa yang bisa diwakilkan oleh si agen – jadi uang yang kita bayarkan adalah untuk membayar jasa si agen untuk antre visa. Kan lumayan nggak perlu cuti. Kalau kita tetap harus datang sendiri, mendingan mengurus sendiri saja.
Visa kami jadi dalam seminggu. Tapi, sayangnya tidak ada email yang memberitahukan kalau visanya sudah jadi. Jadi, seharusnya kan kalau paspor sudah kembali dari Kedutaan Perancis ke TLS, akan ada email yang menginformasikan bahwa paspor bisa diambil. Tapi sampai dua minggu setelah penyerahan dokumen, nggak ada kabar apapun. Salah satu teman yang penasaran, langsung menelepon TLS dan mendapatkan informasi bahwa paspor kami sudah balik seminggu setelah penyerahan dokumen. Wow, lumayan cepat juga. Rupanya jangan banyak berharap dengan email. Kalau urus visa ke TLS, harus rajin-rajin lihat status aplikasi di websitenya TLS.
Begitu visa di tangan, langsung siap-siap untuk jalan-jalan di Paris.
Itinerary kami tidak terlalu padat. Ini jadwalnya:
Hari 1: Berangkat dari Jakarta, Transit Doha, Tiba di Paris
Hari 2: Berangkat ke Strasbourg, menginap di Strasbourg
Hari 3: Berkunjung ke Kehl, Jerman
Hari 4: Berangkat ke Colmar, mampir di Selestat, menginap di Colmar
Hari 5: Keliling Colmar
Hari 6: Berkunjung ke Eguisheim
Hari 7: Berangkat ke Paris, menginap di Paris
Hari 8: Berkunjung ke Versailles
Hari 9: Keliling Paris
Hari 10: Berangkat dari Paris
Hari 11: Transit Doha; Tiba di Jakarta
Waktu berangkat ke Paris, kami masih bisa jalan-jalan di hari yang sama. Waktu pulangnya, berangkat dari Paris jam 4 sore, sampai Jakarta di hari berikutnya jam 4 sore juga. Maklum, kalau waktu berangkat kami bergerak ke arah barat (melawan arah rotasi bumi), waktu pulang kami bergerak ke timur (sesuai dengan arah rotasi). Jadi perjalanan pulang terasa lama banget.
Oh ya, selama empat bulan sebelum berangkat, kami cukup intens untuk kumpul bareng dan menyusun itinerary. Bisa dikatakan dua minggu sekali ketemuan. Terus, setelah dapat visa (sekitar dua bulan sebelum berangkat), hampir setiap minggu kami ketemuan. Yang beginian saja, jadwal di Perancis bisa berubah-ubah sesuai keadaan. Terus, kadang masih ada saling sebel satu sama lain karena ketidakcocokan. Namanya juga perjalanan jauh yang juga bikin capek. Tapi dengan penyusunan itinerary yang relatif detil, sebetulnya hampir semua perubahan jadwal di hari H bisa ditangani dengan baik.
Browsing tentang tempat makan dan toko juga penting, lho!
Selain mengatur hotel dan perjalanan, kami juga sudah browsing-browsing mengenai tempat-tempat makan di kota-kota tujuan kami. Lumayan juga, karena jadinya ada waktu-waktu dimana jadwal kami tepat dan tempat makan kami pasti buka. Salah satu alasan kenapa harus browsing tempat makan dulu adalah: (1) Harus bisa memperkirakan harga makanan, karena kebetulan banyak restoran dan toko di tempat-tempat wisata di Perancis yang punya website dan menginformasikan menu serta harganya; (2) Harus yakin restorannya buka, soalnya restoran di desa-desa di Perancis pasti libur minimal sehari dalam seminggu; (3) Kebanyakan restoran dan toko di desa-desa Perancis tutup cepat (atau bahkan tidak buka sama sekali) di hari Minggu. Paling tidak, kami tidak terlalu kaget ketika pulang dari Selestat, tiba di Colmar malam-malam, kelaparan, dan menemukan hanya ada satu rumah makan yang buka – karena itu kebetulan Minggu malam.
Selain soal makanan, kami juga browsing soal baju yang bisa dipakai. Kalau browsing soal baju, kebanyakan website milik warga Amerika menginformasikan bahwa baju yang umum di pakai warga Paris adalah warna hitam atau gelap. Nggak salah sih, tapi sebetulnya banyak juga yang pakai warna terang seperti kuning atau putih. Jadi nggak masalah. Sebetulnya, yang lebih layak dicari adalah jenis baju apa yang perlu dipakai di negara tujuan di bulan kedatangan. Karena kebetulan kami jalan-jalan di Perancis di pertengahan bulan September, jadi cuacanya cepat berubah-ubah. Sering hujan dan suhunya bisa berubah dari panas ke dingin dengan cepat.
Saya sih cuma pakai kaos biasa dan trench coat berbahan dasar katun dan lycra (dengan hood). Kebetulan memang sudah punya dari dulu. Walau buluk, tapi tetap berguna. Jadi nggak beli-beli lagi. Selama hujannya nggak deras, trench coat saya masih bisa melindungi saya dari air. Kalau ada angin kencang, saya juga terlindungi dari angin. Saran saya, kalau mau beli jaket atau trench coat buat jalan-jalan, mendingan pilih yang pakai hood atau penutup kepala. Soalnya, kalau pas lagi musim hujan, paling tidak kita masih bisa lari-lari di tengah gerimis. Pakai trench coat lebih enak sih, soalnya lebih panjang dari pada jaket.
Biar nggak nyasar, semuanya dipersiapkan di muka.
Karena takut nyasar, kami juga menyewa Travel Wifi selama perjalanan ke Perancis. Kali ini, saya sewa dari Indonesia. Lumayan lho, paling tidak kami bisa browsing-browsing dan lihat GoogleMaps di jalan. Walaupun bawa peta kertas yang diambil dari kantor Informasi Turisme, paling tidak kami lebih percaya diri sepanjang jalan.
Mungkin ada yang mikir, buat jalan-jalan sepuluh hari saja kok capek banget persiapannya? Yah, maklumlah, soalnya kan ada tiga kepala, jadi ada tiga pemikiran. Terus, sayang kalau waktunya terbuang percuma, soalnya tiket pesawatnya mahal. Nah, setelah bolak-balik mengatur jadwal, menghitung pengeluaran, browsing-browsing tempat-tempat wisata, mencari tahu tentang toko, rumah makan, dan pusat turisme di masing-masing kota, kami pun merasa yakin untuk berangkat.
Di artikel-artikel selanjutnya, saya akan menuliskan tentang perjalanan saya ke tempat-tempat wisata di Perancis, tepatnya di Paris dan di sekitaran Alsace. Sampai jumpa!

6 Komentar:

  1. mantap referensinya.. siapa tau kalo ada rejeki bisa kesana, udah ada persiapan sebelumnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siip!! Yang penting sudah merancang dulu. Duit bisa datang belakangan, misalnya dengan menabung dari sekarang atau usaha sambilan. :D

      Hapus
  2. Wah kapan ya ane bisa juga keluar negri. Wkwk

    BalasHapus
  3. share estimasi biaya juga dong :)

    BalasHapus