10 Februari 2018

Menikmati lukisan di Museum d'Orsay.
Hari ini adalah hari kami berangkat pulang ke tanah air. Seharusnya, hari ini kami tinggal leha-leha di hotel dan kemudian berangkat ke bandara tanpa tergesa-gesa, bersiap-siap untuk duduk selama berjam-jam di pesawat. Tapi karena kemarin kami gagal mengunjungi Museum d’Orsay, maka pagi ini adalah kesempatan terakhir kami untuk ke situ.
Museum d’Orsay, atau Musée d'Orsay, adalah museum yang menyimpan lukisan-lukisan Perancis, terutama yang dari abad ke-19. Gedung museum ini terletak di tepi sungai Seine, hampir berseberang-seberangan dengan Museum Louvre. Gedung Museum d’Orsay ini cantik dan terkesan anggun, sama seperti umumnya gedung-gedung dengan gaya Beaux-Arts, yang memiliki kolom tinggi dan hiasan patung-patung di berbagai sudut bangunan. Aslinya, bangunan ini adalah stasiun kereta api, namun karena kemudian tidak sesuai dengan bentuk kereta yang baru, bangunan ini dijadikan museum.
Untuk pecinta lukisan, seperti salah satu teman saya yang ikut jalan-jalan kali ini, museum ini memang layak dikunjungi. Karya dari berbagai pelukis ternama abad ke-19 seperti Monet, Renoir, Cézanne, dan Van Gogh disimpan di sini. Museum d’Orsay adalah salah satu museum seni terbesar di Eropa.
Salah satu lukisan Monet yang dipamerkan.
Sebagai orang yang awam soal lukisan, saya sih hanya berjalan sambil lalu dan mengamati lukisan-lukisan dengan cepat. Bukan apa-apa. Museum ini baru buka jam 9:30 pagi. Sementara pesawat kami sudah berangkat jam empat sore. Paling tidak jam 12 siang, kami sudah harus berangkat ke bandara. Jadi kalau untuk saya, yang penting cepat-cepat melewati karya-karya yang tersohor. Tapi untuk teman saya yang pecinta lukisan, dia sudah tahu karya siapa saja yang perlu dipelototi detil-detilnya dan dinilai keindahan aslinya.
Museum ini ternyata cukup banyak peminatnya. Rata-rata masa antre untuk masuk sekitar 20 menit. Bahkan, ketika kami tiba di depan museum jam 9 pagi, sudah ada sederetan orang yang antre untuk masuk. Harga tiket masuk per orang EUR 12. Kalau dibandingkan dengan tiket masuk Museum Louvre yang luas banget itu, yang harganya “hanya” EUR 17, sepertinya sih harga tiket ini cukup mahal ya. Tapi karena koleksinya lukisan-lukisan keren, ya mungkin wajar juga.
Nah, tepat jam 11:30, kami buru-buru balik ke hotel untuk ambil barang dan berangkat menuju bandara. Berdasarkan pengalaman, untuk ke bandara bisa naik kereta. Seperti biasa, kami sudah browsing jauh-jauh hari mengenai rute kereta dari hotel ke bandara, sehingga tidak ada kendala yang berarti. Karena beberapa hari yang lalu ada demo besar-besaran, saya sempat khawatir ada gangguan pelayanan kereta. Untung hari ini aman-aman saja. Tidak banyak yang bisa diceritakan dalam perjalanan pulang ke Indonesia. Maklum, banyakan tidurnya karena capek jalan kaki terus-terusan.

Tambahan Tips untuk Liburan ke Perancis

Sebagai catatan kaki, ada beberapa tips untuk yang mau jalan-jalan ke Perancis:
  • Biasakan browsing jauh-jauh hari untuk semua rute kendaraan umum yang akan dipakai. Jadi kita tidak perlu buang-buang waktu mencari rute yang dimaui. Apalagi kalau jalan-jalan di Paris yang mungkin akan sering naik Metro (kereta bawah tanah). Jalur Metro bisa muter-muter kalau kita tidak baca peta dengan benar. Demikian juga kalau kita jalan-jalan di kota kecil. Bahkan, untuk mendapatkan informasi tentang bus dari Colmar ke Eguisheim, kami mengirim email ke kantor pariwisata kota Eguisheim untuk mendapatkan informasi yang benar.
Beli tiket juga bisa bikin bingung, lho!
  • Biaya makan bisa mahal, bisa murah. Kalau pergi beramai-ramai dan tinggal di apartemen, memasak adalah salah satu cara penghematan. Apalagi kalau takut makanannya tidak halal. Di Paris dan kota-kota besar lainnya sebenarnya ada penjual makanan halal, terutama rumah makan turki, tapi harganya memang lumayan mahal (dibandingkan dengan makanan lokal yang tidak halal). Tempat belanja seperti Carrefour atau Monoprix menyediakan makanan segar atau yang siap saji. Cek websitenya saja, ya.
  • Jangan lupa cari-cari info tentang tempat belanja dan rumah makan sebelum berangkat. Sebelum kami berangkat dari Indonesia, teman saya sudah menyimpan peta menuju ke tempat belanja terdekat dari hotel atau apartemen. Untuk rumah makan, kami sudah browsing-browsing mencari rumah makan yang terkenal, harganya cukup masuk akal, dan buka di hari yang cocok dengan jadwal kami. Rumah makan di Perancis tidak buka setiap hari karena ada hari liburnya. Jadi, sebaiknya siapkan beberapa alternatif, siapa tahu ada perubahan jadwal. Karena porsi makanan di Perancis cukup besar, sharing makanan bisa menjadi alternatif kalau memang mau mencoba makanan lokal dengan harga murah.
  • Kalau berminat untuk mengunjungi museum, jadwal buka museum harus dipelajari sebelumnya. Hari libur untuk museum di Perancis berbeda-beda satu sama lain. Ada yang tutup hari Senin, ada yang tutup di hari Selasa, dan ada yang tutup di hari Minggu. Jam operasi juga berbeda-beda. Bahkan, umumnya museum punya hari-hari tertentu dimana tutupnya malam dan hari lain dimana tutupnya normal atau lebih cepat. Oh ya, beda musim juga kadang-kadang mempengaruhi jam operasional museum. Jangan sampai kita kecewa karena di waktu yang kita rencanakan, museumnya tutup.
Hampir semua petunjuk dalam bahasa Perancis.
  • Sebagian besar orang Perancis yang saya jumpai tidak lancar berbahasa Inggris. Jadi, kalau bisa, banyak-banyak mencari informasi sebelum berangkat. Kenapa? Supaya tidak terlalu banyak perlu bertanya ke orang lokal. Petugas di hotel atau kantor turisme biasanya bisa berbahasa Inggris, jadi bisa korek-korek informasi dari mereka sebelum jalan. Hanya saja, kalau terpaksa harus bertanya di jalan, jangan khawatir, pasti ada jalan. Di kota kecil seperti Colmar, umumnya penduduk lokal ramah dan mau membantu. Di kota besar seperti Paris, lebih mudah bertemu polisi atau petugas yang bisa ditanya. Kalau mereka tidak bisa bahasa Inggris, bahasa tarzan juga bisa. Hahaha!
  • Oh ya, hati-hati dan waspada setiap saat. Terutama, ketika jalan-jalan di Paris. Waktu di dekat Notre Dame, saya pernah didatangi anak-anak kecil bule (kemungkinan dari Eropa timur) dan dimintai sumbangan. Waktu saya tolak, salah satu anak sengaja mendorongkan kakinya ke depan kaki saya. Saya yang tersandung, dia yang teriak-teriak kesakitan. Untung waktu itu Paris siaga satu untuk terorisme. Tentara ada di mana-mana. Jadi, saya dengan percaya diri jalan ke bangku taman terdekat, terus duduk sambil melihati mereka. Eh, anak-anak itu yang kabur. Untunglah ... (Catatan: Jangan ditiru ya. Sebaiknya kalau ada anak-anak kecil mendekat, langsung pergi pelan-pelan. Saya cukup beruntung karena anak-anak ini tidak ada yang “balas dendam”.)
  • Di dalam kereta di Paris juga ada pengemis dan copet. Waktu saya menuju ke Sacré-Cœur naik Metro (kereta bawah tanah), ada segerombolan pria kucel imigran yang masuk dan berdiri mepet di dekat kami. Ada satu orang yang membuka tasnya yang besar dan kosong, berdiri menyebelahi teman saya,  dan lirik-lirik ke tas selempang teman saya . Untungnya, ada pria lain (sebangsa dengan gerombolan ini ya) yang terlihat pakai baju kantoran rapi, maju dan berdiri menghalangi mas-mas copet ini. Jadinya, teman saya selamat. Saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan satu suku bangsa ya, soalnya di kasus di atas, antara yang (sepertinya) berminat jahat dan yang (sepertinya) berminat baik berasal dari suku bangsa yang sama. Terus, pernah juga ada mbak-mbak bule yang bagi-bagi amplop minta sumbangan, persis seperti anak-anak kecil di bus di Jakarta.
  • Tapi di luar semua itu, yang paling penting adalah: selalu terbuka terhadap pengalaman baru dan fleksibel. Semoga saja, perjalanan akan lancar dan memberikan kenangan yang menyenangkan.
Au revoir!
(Selesai.)

0 Komentar:

Posting Komentar