27 Oktober 2018

Pertunjukan sendratari di Museum Nasional Kamboja.

Tanggal 16 Juni 2018. Kami tiba di hotel kami di Phnom Penh sekitar jam 4 sore. Setelah perjalanan dengan bus sekitar 6 jam, berbaring di atas tempat tidur adalah salah satu kenikmatan tiada tara. Bahwa kamar kami ada di lantai 3 dan tidak ada lift, tidak masalah buat kami. Yang penting kami punya tempat untuk meregangkan otot kaki. Nah, sambil istirahat dan bersih-bersih, kami mulai merancang kegiatan yang akan dilakukan selama di Phnom Penh. Karena kami ingin wisata yang bahagia dan menghindari pemandangan horror, kami sengaja tidak menjadwalkan kunjungan ke Museum Genosida Tuol Sleng maupun ke Ladang Pembantaian Choeung Ek. Mungkin kalau suatu saat nanti ada kesempatan kemari, saya akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu.
Berhubung hotel kami jaraknya cuma selemparan batu dengan Museum Nasional Kamboja (National Museum of Cambodia), maka sore itu kami mencoba ke sana untuk mengecek jadwal buka. Eh, kami malah menemukan loket penjualan tiket pertunjukan sendratari dari Cambodian Living Arts. Karena penasaran, maka kami bertiga memutuskan untuk membeli tiket pertunjukan yang akan dimulai jam 7 malam nanti.
Cambodian Living Arts, adalah organisasi seni yang memelihara budaya tari tradisional Kamboja. Salah satu pertunjukan rutinnya adalah sendratari yang diadakan di Museum Nasional Kamboja, setiap hari jam 19:00. Sendratari yang akan kami tonton ini diperkenalkan sebagai tarian tradisional Kamboja yang dicampur dengan gambaran kondisi kontemporer di Kamboja saat ini.
Museum Nasional Kamboja.
Posisi penonton di pertunjukan tari ini hampir sama dengan posisi penonton di pertunjukan Sendratari Ramayana di Prambanan, Yogyakarta. Penonton duduk di bangku kayu yang agak pendek yang disusun seperti tangga. Semakin mahal tiketnya, semakin baik posisinya. Karena kami beli tiket yang harganya kelas menengah, maka kami dapat posisi yang agak belakang, tapi bisa di tengah. (Soal menonton sendratari sih, nggak masalah duduk di mana saja. Yang jadi masalah sebenarnya adalah nyamuk yang berterbangan di sekitar kaki.)
Pertunjukan sendratari berlangsung selama kira-kira satu jam. Selama satu jam itu kami disuguhi kisah mengenai legenda rakyat di Kamboja dan juga gambaran kehidupan rakyat pedesaan saat ini. Tarian-tariannya dibawakan dengan profesional dan menarik. Di layar di atas panggung, ada sedikit penjelasan mengenai alur cerita, namun tidak banyak. Ada beberapa detil tarian yang saya tidak mengerti maksudnya. Tapi nggak masalah sih, yang penting kan menonton tariannya.
Sebagai orang yang sebelumnya menghabiskan waktu tiga hari tiga malam di Siem Reap dan sudah puas keliling candi-candi di sana, kami sudah berkali-kali melihat ukiran apsara di tembok candi. Apsara adalah bidadari menurut mitologi Hindu, yang juga diterima oleh budaya Kamboja sebagai bidadari yang jago menari. Seorang penari di sendratari yang memerankan Dewi Moni Mekhala, betul-betul sesuai dengan gambaran saya tentang apsara. Selain cantik, dia juga jago menari dengan gerakan-gerakan yang seperti yoga, sama persis dengan yang ada di ukiran candi. Pokoknya, khusus si mbak-mbak penari yang satu itu, gerakannya seperti bidadari banget!
Mbak-mbak yang mirip apsara. Sayang ngak bawa kamera DSLR, jadi nggak jelas fotonya.
Buat yang penasaran. Ini contoh ukiran apsara di Angkor Wat.
Secara keseluruhan, sendratari ini menarik dan layak ditonton. Tapi memang, harga tiket yang paling murah USD 15, itupun duduk di kursi belakang. Buat backpacker, ya bisa dianggap mahal. Apalagi kalau untuk turis Indonesia, biasanya pertunjukan seperti ini dilewatkan karena dianggap membosankan. Padahal, dengan menonton sendratari ini, saya mendapatkan gambaran baru mengenai kepercayaan penduduk Kamboja. Sama seperti Sendratari Ramayana di Indonesia, sendratari ini menunjukkan kuatnya pengaruh mitologi India di dalam sejarah budaya setempat.
Di akhir pertunjukan, pendiri Cambodian Living Arts maju ke panggung dan bercerita, bahwa di masa kekuasaan Khmer Merah, seluruh seni tradisional dilarang dan para seniman ditahan, bahkan dibunuh. Seni yang boleh hidup hanyalah seni yang membawa propaganda penguasa. Akibatnya, ada satu generasi penduduk yang tidak kenal lagu-lagu tradisional dan tarian daerah masing-masing. Setelah Khmer Merah kalah, Bapak Arn Chorn-Pond, pendiri dari Cambodian Living Arts, mengumpulkan para seniman tradisional untuk mengajarkan seni pada generasi baru.
Pak Arn Chorn-Pond sendiri bercerita bahwa saat dia masih muda, dia sempat dimasukkan ke tahanan anak-anak oleh rezim Khmer Merah karena dia berasal dari keluarga seniman. Setelah dia berhasil melarikan diri, dia lalu dibantu oleh seorang warga Amerika sampai dewasa. Saat dia kembali ke Kamboja setelah Khmer Merah bubar, dia kaget karena anak-anak hanya tahu lagu-lagu propaganda, tapi tidak ada yang tahu mainan anak-anak tradisional yang dulu biasa dia mainkan. Selain itu, tidak ada lagi yang tahu tarian-tarian tradisional. Bahkan, legenda rakyat juga banyak yang sudah hilang. Itulah yang mendorong dia untuk membangun Cambodian Living Arts untuk mengumpulkan dan mempertahankan budaya asli Kamboja.
Ini yang penari pria, di bagian dimana Dewa Wisnu melerai pertikaian antara Dewa dan Raksasa.
Cambodian Living Arts ini sendiri tidak hanya menyelengarakan pentas tarian-tarian tradisional, namun juga punya research center yang meneliti sisa-sisa budaya tradisional dan mengumpulkan orang-orang tua yang memiliki ingatan terhadap budaya di masa lampau.
Sebagai orang yang tinggal di Indonesia, negara yang merdeka sendiri (bukan pemberian negara lain) dan masih bisa mempertahankan budaya sendiri, saya bersyukur bahwa saya masih sering mendengar cerita tradisional dan juga lagu-lagu tradisional. (Lagu tradisional ini maksudnya yang seperti Ampar-Ampar Pisang atau Gundul-Gundul Pacul, ya. Bukan yang jenis lagu-lagunya Didi Kempot.) Nggak kebayang kalau suatu saat nanti ada suatu rezim yang hanya mengijinkan satu macam budaya dan kebiasaan yang berlaku bagi seluruh penduduk negara Indonesia.
Pesan untuk semua yang membaca nih, yuk kita bantu kelestarian kesenian, cerita rakyat, legenda, dan juga sejarah bangsa kita, dari Sabang sampai Merauke. Walaupun aneh, susah dipelajari, kuno, atau terkesan seperti kisah serangan alien, kan semua legenda dan budaya itu merupakan dongeng dan kebiasaan yang pastinya berguna di masanya. Kalau sekarang dianggap sebagai hiburan belaka, (menurut saya pribadi) juga tidak salah kan. Sama seperti puisi lokal yang menyelamatkan warga Pulau Simeulue dari amukan tsunami di tahun 2004, siapa tahu legenda dan kisah kuno bisa menjadi catatan sejarah yang membantu kita mempersiapkan masa depan.
Untuk yang ingin tahu lebih lanjut tentang Cambodian Living Arts, bisa berkunjung ke https://www.cambodianlivingarts.org/

13 Komentar:

  1. Cambodian Living Arts ini keren ya, selain ada pertunjukan, juga punya pusat penelitian! Pusat penelitian seni ini yang bisa banyak tumbuh juga di Indonesia karena setiap wilayah punya budaya/adat dan seninya masing-masing.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, Mbak. Dan, sekarang semakin banyak kelompok seni dan budaya di Indonesia. Cuma mungkin mereka lebih menjadi sarana kumpul para seniman. Kalau perkumpulan yang lebih ilmiah dan membahas seni tradisional secara mendalam, sepertinya saya belum pernah dengar.

      Hapus
  2. Nonton pertunjukkan sendratari selama 1 jam cukup ya mbak nggak terlalu lama dan nggak terlalu cepat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar ... kalau disuruh menonton pertunjukkan wayang kulit semalaman, baru seperempat jalan saya pasti sudah tidur.

      Hapus
  3. Wih bagus bangeeeeet. Aku suka nih pertunjukkan kayak begini. Seruuuu. Mayan nanti kalo ke Thailand, udah tau yg beginian :D

    BalasHapus
  4. Eh lah... kamboja.. kok jadi thailand -_-

    BalasHapus
  5. wah, lg ada di Kamboja ya? byk pertunjukan kesenian ya disana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah pulang, Kak. Ini oleh² saja. Pertunjukan kesenian ada banyak di Kamboja. Tapi sebagian besar ditujukan untuk turis.

      Hapus
  6. Kalo budaya indonesia sih sbnernya udh filestarikan scr masif. Suka keselnya kalo negeri tetangga asal kliam saja gitu. Kaya reog, kuda lumping, dan yg terbaru silat.....
    Hadehhhh.
    .
    Btw bisa tau banyak tentang sejarah kamboja gitu pasti riset utk nulis artikel ini lama ya mbak???
    Keren!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya... makanya kita sebagai orang Indonesia harus mempertahankan kelestarian budaya kita.

      Riset lama? Enggak, kok. Cuma memperhatikan setiap penjelasan aja pas jalan. Hehe...

      Hapus
  7. Keren mbak..

    Saya dulu ke Kamboja malah ke tuol sleng sama mabok doang, wkwkwk

    Gila jauh-jauh ke sana malah isinya dugem doang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaha... selera orang beda-beda ya. Tapi menonton pertunjukan tari di negara yang berbeda ada sensasinya sendiri-sendiri.

      Hapus