6 Oktober 2018

Kembali membahas perjalanan saya ke negara Kamboja, kali ini saya ingin menceritakan tentang danau sumber kehidupan kerajaan-kerajaan kuno di sini. Kalau sebelumnya saya melulu bercerita tentang candi, sekarang saatnya kita mengeksplor tempat wisata lain di sekitar Siem Reap.
Angkor Wat, Angkor Thom, dan berbagai kompleks candi yang menunjukkan kejayaan Kerajaan Khmer sebenarnya berada cukup dekat dengan danau Tonle Sap. Kesuksesan Kerajaan Khmer bertahan cukup lama antara lain adalah kemampuannya mengelola irigasi untuk pertanian, dimana airnya bersumber dari danau Tonle Sap. Tonle Sap sendiri adalah danau air tawar terbesar di negara Kamboja, dan juga di Asia Tenggara.
Nah, di hari terakhir saya menginap di Siem Reap, saya dan keluarga berkesempatan untuk mengunjungi danau ini. Selain untuk melihat sunset, kami juga ingin melihat salah satu kampung nelayan di sini, yaitu Kampong Phluk.
Jalan menuju Kampong Phluk yang berdebu.
Deretan kapal yang siap mengantar ke Kampong Phluk.
Dari Siem Reap, kami naik tuk-tuk ke Kampong Phluk. Lama perjalanannya sekitar satu jam lebih. Lumayan juga, kami jadi bisa melihat suasana kampung di bagian tenggara Siem Reap. Jalan utama menuju ke Kampong Phluk kondisinya tidak terlalu bagus. Jalanya berdebu dan anginnya kencang. Para penumpang diberi masker supaya tidak menghirup debu selama perjalanan. Kabarnya, kalau musim hujan jalan ini becek dan lebih susah dilalui.
Sebelum tiba di Kampong Phluk, kami mampir dulu ke bagian tiket. Turis asing wajib membeli tiket untuk biaya perahu menuju Kampong Phluk sekaligus membayar retribusi untuk pembangunan masyarakat setempat. Harga tiket kapal plus retribusi adalah USD 21 per orang.
Kampong Phluk terletak di tepi danau Tonle Sap. Di musim kering (di saat kami berkunjung), kampung ini terletak di pinggiran sungai kecil yang menuju ke Tonle Sap. Di musim inilah kampung ini masih memiliki akses jalan darat ke tempat-tempat lainnya. Karena danau surut, umumnya turis yang datang tidak terlalu banyak dan para penghuni kampung mencari makan dengan bertani di plot tanah yang sempit.
Kampong Phluk di musim kemarau.
Anak-anak yang sedang berenang-renang di sungai.
Di musim hujan, kampung ini akan digenangi air dari danau. Kampung ini akan terisolir dari tempat lain selama beberapa bulan, dan satu-satunya akses kemari adalah perahu. Di saat inilah turis-turis akan berdatangan untuk menyaksikan kampung terapung Phluk. Konon, di musim hujan ini, seluruh penduduk akan mengaktifkan kapal mereka untuk mengantar turis ke Tonle Sap.
Nah, karena saya datang di musim kemarau, saya tidak melihat sebuah kampung terapung. Yang saya lihat adalah rumah-rumah panggung yang berdiri di atas tiang-tiang bambu yang tingginya belasan meter. Karena danau sedang tidak banjir, jadi saya bisa menyaksikan para penduduk beraktivitas di luar rumah. Ada yang sedang menjahit jaring, ada yang sedang bersepeda membawa sayuran, dan ada juga anak-anak yang bermain-main. Di musim hujan, aktivitas ini tidak terlihat karena semua tempat dibanjiri air dari danau.
Karena kami sedang datang di musim kemarau, sungai yang membawa kami menuju ke Tonle Sap mengecil. Sungai yang menjadi tempat parkir perahu-perahu penduduk ini penuh sesak dengan kapal, dan kadang-kadang para pengemudi harus bermanuver agar tidak menabrak pinggiran sungai. Sementara persis di tepi sungai, rumah-rumah panggung berdiri. Seru juga, menyaksikan kampung yang menjulang tinggi di atas kepala kami. Kalau tidak banjir, untuk keluar rumah, para penghuninya harus menuruni tangga yang tingginya setara dengan bangunan tiga lantai.
Hutan di tepi Tonle Sap.
Setelah melewati Kampong Phluk, kami kemudian melewati hutan dan tiba di tepian danau Tonle Sap. Danau ini luas banget ... sampai-sampai kami tidak dapat melihat tepian di seberang sana. Dengan luas danau di musim kemarau sekitar 2.700 km persegi, wajar kalau berdiri di tepi danau serasa berdiri di tepi pantai yang menghadap ke lautan tenang. Di musim penghujan, luas danau ini sekitar 16.000 km persegi karena pasti menimbulkan banjir.
Nah, di atas danau terdapat beberapa warung mengapung. Kalau ini benar-benar mengapung karena warung-warung ini berada di atas rakit raksasa. Di sini kami membeli minuman, sekaligus duduk-duduk menyaksikan suasana danau. Oh ya, di hutan dan di pinggir danau, sering ada ular dan buaya. Waktu saya di duduk warung mengapung, ada kandang yang berisi ular besar dan juga buaya kecil yang ditangkap penduduk setempat.
Dari warung, kami masih naik kapal lagi menuju ke arah tengah danau. Tapi nggak jauh-jauh banget sih. Paling cuma maju sekitar 10 menit dengan perahu mesin. Kami sampai di salah satu karamba dan kemudian kapal diikat di situ. Mesin kapalpun dimatikan. Kami bergoyang-goyang mengikuti ayunan kapal. Angin berhembus cukup kencang, dan air danau berombak kecil-kecil. Oh ya, tanpa pelampung, karena di kapal tidak ada pelampung atau perlengkapan keamanan apapun. Yah, standar turisme negara berkembang.
Foto-foto dulu di atas warung mengapung.
Sunset di Tonle Sap.
Pemandangan matahari terbenam di Tonle Sap keren banget! Terutama sih, karena kami berada di tengah danau, jadi seolah-olah berada di tengah laut lepas. Dengan kondisi kapal yang mati dan suara angin terdengar jelas, rasanya seperti benar-benar menyatu dengan alam.
Setelah puas melihat matahari yang nyungsep ke balik awan, kami lalu kembali ke Kampong Phluk sebelum suasana benar-benar gelap. Sesampainya di Kampong Phluk, matahari sudah tenggelam, dan kami harus keluar kapal dan naik kembali ke tempat tuk-tuk diparkir dalam keadaan gelap. Untung sopir tuk-tuk merangkap tour guide kami bawa senter.
Sesampainya di Siem Reap, kami langsung mencari makan malam. Nah, makan malam di Siem Reap juga menarik lho. Sebagai kota turis, Siem Reap juga memiliki tempat nongkrong yang sesuai dengan budaya kaum turis (bule). Simak ceritanya di artikel selanjutnya ya.

17 Komentar:

  1. Kampong Phluk ini mengingatkan saya pada kampung2 tepi laut di Pulau Flores yang kesemuanya dihuni oleh pendatang/pelaut dari Sulawesi. Hanya saja Phluk berada di tepi Danau Tonle Sap, bukan di tepi laut jadi airnya tergntung musim hujan hehehe. Nice trip! Ditunggu cerita selanjutnya ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, saya jadi penasaran dengan kampung² di tepi laut di Flores. Sepertinya keren juga nih informasi dari Mbak Tuteh.

      Hapus
    2. Saya pernah bercerita tentang Trip to Riung dan Labuan Bajo, juga tentang Maumere, di sana banyak kampung2 tepi laut dan ada yang dinamakan sesuai nama dari Sulawesi misalnya Kampung Binongko di Labuan Bajo itu hehehe.

      Hapus
  2. Harus super hati2 ya jangan sampai kecebur kedalam danau nnt bisa jadi santapan buaya dan ular.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah... bener banget! Pada dasarnya, kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalam air.

      Hapus
    2. Kalo di sungai nggak ada buayanya? Airnya coklat kok bisa buat renang sama anak2 hihihi...

      Hapus
    3. Buaya umumnya takut ama orang, kali. Kalau nggak terpaksa, buaya juga gak bakalan dekat-dekat kampung.

      Hapus
  3. Kak Dyah kok berani ya naik perahu ada buayanya ..., kalau tiba-tiba muncul buaya gimana, kak ?.
    Apakah ada instruksi dari pengelola penyedia perahu sebelumnya gimana cara antisipasinya, kak ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, itu nasib. Lha penduduk setempat juga baik-baik saja tinggal di situ. Manajemen keamanan di Kamboja minim banget, lha kami penumpang turis asing saja nggak dikasih pelampung.

      Hapus
  4. kalau pas musim penghujan, pas jadi kampung terapung gitu, pasti lebih keren yaaa..

    Itu standar safety untuk turis perlu bgt ditingkatkan ya,, tanpa ada pelampung, apalagi ada buayanya disitu..

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya... pengin balik lagi ke sana pas musim hujan. Pasti seru banget naik perahu di sekitar rumah-rumah itu.

      Hapus
  5. aku lupa, lihat kampung ini pas cara televevisi apa, yang pasti jalan jalana. dan waktu itu mereka tujuki kuliner yang dimasak di salah satu warga disitu.

    jadi, kalau kesini bagusnya pas musim Hujan. Baiklah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya... pengin nyoba ke sini lagi pas musim hujan.

      Hapus
  6. Aku malah kepikiran tiang-tiang penyangga rumahnya... Diganti tiap berapa tahun ya? Supaya tak keropos dan mendadak ambruk

    BalasHapus
  7. Ditunggu cerita makannya, sepertinya sedap....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, cerita makanannya malah ketinggalan nih Mas. Soalnya makannya sambil kelaparan. Udah nggak mikir nulis lagi. Hahaha.

      Hapus