9 Juli 2022

 

Saya pernah menulis tentang jalan kaki di sepanjang Jl Malioboro, Yogyakarta di blog ini. Tapi itu sudah lama banget ya. Di pertengahan tahun 2022 ini, ternyata ada perubahan besar di jalan paling populer di kota Yogyakarta ini. Jalan Malioboro ... terasa lebih lega. Bukan karena jumlah orang yang lewat sedikit (walau mungkin ada pengaruhnya juga, kan masih masa pandemi), melainkan karena sudah tidak ada lagi pedagang kaki lima yang memenuhi lebih dari setengah trotoar di kiri kanan jalan. Jadinya area pejalan kaki sekarang terasa lebih luas.

Waktu saya dan keluarga datang ke Yogyakarta, kami penasaran dengan kondisi Malioboro saat ini. Kebetulan hampir dua tahun kami tidak bepergian ke mana-mana. Jadi mumpung sedang di Yogyakarta, kami kemudian mampir sebentar di Malioboro.

Tadinya kami berencana makan siang di Jl Malioboro. Tapi bapak sopir taksi yang mengantar kami mencela gagasan itu. Katanya, mahal dan rasanya biasa saja, kalau makan di Malioboro. Kami jadinya mengkaji ulang ide makan di Malioboro, dan memutuskan untuk jalan kaki sebentar saja sebelum pindah ke lokasi lain untuk makan siang. Padahal kalau makannya di KFC, harga dan rasanya sih sama saja seperti di tempat lain ya ...

Kami turun taksi di dekat Stasiun Yogyakarta. Dari situ, kami jalan kaki ke arah keraton. Kami tidak bermaksud untuk jalan terlalu jauh, karena hanya ingin merasakan sebentar “Malioboro yang baru”. Itu saja.

Sepertinya pemerintah setempat memang ingin menata ulang area Malioboro. Di dekat stasiun ada tempat parkir bertingkat. Lumayan juga mengurangi kendaraan yang parkir dan memenuhi bahu jalan. Pedagang kaki lima tidak lagi berjualan di selasar toko. Mereka dikumpulkan di dua tempat yang disebut sebagai Teras Malioboro. Saya nggak masuk ke dalamnya ya, hanya melihat saja dari luar. Saya lihat Teras Malioboro cukup ramai juga.

Malioboro tanpa PKL di selasar toko.

Teras Malioboro 2.

Trotoar dan juga selasar toko di sepanjang jalan Malioboro terasa lengang. Di area trotoar terbuka, bahkan terdapat bangku tempat duduk-duduk. Di tempat yang teduh, bangku sudah penuh oleh orang-orang yang duduk-duduk sambil mengobrol. Di beberapa lokasi, disediakan tempat sampah supaya orang-orang tidak buang sampah sembarangan.

Jalan Malioboro dibagi kedalam beberapa lima zona. Batas antara setiap zona adalah semacam gerbang mini lengkap dengan penjaganya, patung prajurit ketanggung (pengawal keraton). Katanya, di kondisi libur yang ramai, ada petugas yang membatasi jumlah orang per zona guna mencegah penyebaran virus Covid-19. Saya kurang paham bagaimana prakteknya ya, soalnya orang kan bisa keluar masuk toko atau datang dari salah satu gang sesuka hati. Bagaimana menghitung pemenuhan kapasitasnya? Saat kami datang kemari, kebetulan kondisinya tidak penuh sesak, jadi saya tidak bisa melihat langsung sistem pengelolaan kapasitas zona ini.

Di beberapa tempat di pinggiran jalan, becak dan andong (kereta kuda) parkir berjajar-jajar menunggu penumpang. Menyenangkan juga melihat jajaran moda transportasi yang sudah tidak pernah saya lihat lagi di Jakarta.

Tiba-tiba salah satu dari kami mengusulkan untuk makan siang gudeg di daerah Plengkung. Dia juga mengusulkan untuk naik andong ke Plengkung. (Daerah Wijilan, dekat bangunan bekas gerbang yang disebut sebagai Plengkung, memang sudah menjadi sentra gudeg. Di sini ada banyak penjual gudeg dengan berbagai resep khasnya.) Setujulah kami, karena kami semua sudah lama tidak naik andong. (Saya rasa saya sudah sepuluh tahun lebih tidak naik andong.) Setelah mendapatkan kesepakatan harga dengan kusirnya, kami kemudian naik andong.

Pembatas zona di Malioboro.

Naik andong.

Sebetulnya, kalau dari segi harga, biaya naik andong jauh lebih mahal dari biaya naik ojek motor. Bukan apa-apa, motor cuma butuh bensin dan servis rutin. Di luar perawatan kayu andong yang mudah rusak akibat cuaca dan alam, andong ditarik oleh kuda yang harus dirawat dan diberi makan secara rutin. Belum kalau tiba-tiba kudanya sakit atau ngambek nggak mau kerja. Jadi repot kan. Tapi untuk pengalaman, atau untuk refreshing, bolehlah mencoba naik andong keliling area Malioboro.

Yah, begitulah pengalaman saya lewat sebentar di jalan Malioboro. Cuma gitu aja? Ya iya, lah. Kan cuma sebentar. Cuma 20 menit doang, sudah termasuk naik andong ke arah Plengkung. Tapi walau hanya sebentar, kami sudah cukup puas jalan-jalan di Malioboro setelah sekitar dua tahun terjebak pandemi, hanya lewat tempat yang itu-itu lagi saja.

4 Komentar:

  1. bener nih, dari pertama aku liat Mallioboro yang penuh sesak banyak penjual. Sekarang selasar toko jadi bersih dan rapi.

    Pernah coba jalan dari zona 2 sampai zona nyaman (BI) pegel juga, Hehe tapi suasana mallioboro emang selalu buat hati rindu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya... Dengan atau tanpa penjual pernak-pernik di selasar jalan, Malioboro tetap tempat yang menyenangkan untuk jalan-jalan.

      Hapus
  2. ya emg ut kulineran, area maliboro bukan ide bagus hehe

    BalasHapus