28 September 2014

Berikut saya ceritakan beberapa makanan yang saya makan di Hue, dan beberapa pengalaman saya wisata kuliner di sana. Nama makanan kadang ditanyakan kepada penjual, dilihat di papan petunjuk penjual, dan kadang juga hasil google dan membandingkan dengan fotonya. Ada juga makanan yang saya tidak temukan penjelasannya apa.
Catatan 1: Saya tidak memiliki preferensi ataupun pantangan khusus terhadap makanan, jadi saya bisa makan apa saja.
Catatan 2: Sebagian besar makanan yang saya makan tidak halal. Bukan apa-apa, memang di Hue sangat jarang bisa ditemukan makanan halal, kecuali seafood dan makanan vegetarian. Turis dari Indonesia atau Malaysia tidak banyak berkunjung ke kota ini, jadi mungkin kurang ada insentif bagi para penjual untuk menyediakan makanan halal. Jadi, kalau Anda masih berminat untuk membaca lebih lanjut, siap-siap menemukan banyak sekali makanan yang mengandung babi.

Roti Isi khas Vietnam atau Vietnamese Sandwich (dalam bahasa Vietnam: Bánh Mì)

Penjual sedang menyiapkan banh mi.
Ini adalah sandwich atau roti isi khas Vietnam. Di sudut-sudut jalan Hue di pagi hari, ada banyak gerobak atau lapak penjual banh mi. Banh mi adalah sejenis french baguette yang diisi sesuai permintaan pembeli. Sebenarnya sih, secara harafiah, banh mi artinya roti (ini hasil mengintip di Wikipedia). Tapi kalau kita beli banh mi, sudah pasti itu berarti membeli roti isi. Walaupun di kaca etalasenya jelas-jelas ada tulisannya angka 8000 atau bahkan 7000, karena kami membeli dengan bahasa isyarat, kami pasti akan dimintai harga 10.000 Dong – tapi isinya sedikit lebih banyak daripada pembeli lokal. Namanya juga turis, apa boleh buat kalau harus membayar lebih. Mau protes juga tidak bisa kan?
Banh mi bisa diisi sesuai permintaan. Biasanya penjual memiliki banyak pilihan isi, ada beberapa pilihan olahan daging, beberapa pilihan sayur-sayuran, dan beberapa pilihan saus/bumbu serta sambal. Sambal Vietnam pedas loh. Beda lapak, pilihan isinya bisa berbeda-beda. Pernah saya lihat pembeli yang cuma minta isi sayur dan sausnya. Biasanya kalau pembeli lokal, dia hanya memilih satu macam olahan daging dan sedikit pilihan sayur untuk dimasukkan ke dalam banh mi. Untuk kami yang turis, kalau tidak memilih, maka semua olahan daging, sayur, dan bumbu akan dimasukkan ke dalam banh mi. Harganya juga beda sih ... Rasanya sudah pasti campur aduk – tapi kalau untuk saya sih, enak-enak saja. Selama di Hue, banh mi adalah makanan favorit saya.
Oh ya, kalau ditilik dari rasanya, kebanyakan penjual banh mi hanya menyediakan olahan daging babi untuk isinya. Jangan heran, mayoritas warung di Hue menjual daging babi dan kadang kala juga ayam. Tapi, ada satu lapak di dekat hotel, yang hanya jualan di pagi hari, punya pilihan daging yang lengkap –di situ juga ada pilihan potongan ikan seperti ikan sarden kalengan.
Toko penjual banh mi yang cukup komplet yang pernah kami datangi ada di: Lò bánh mì Anh Tù, 39B Lý Thường Kiệt, Huế. Ada banyak banget pilihan isinya, tapi kebanyakan babi yah. Harganya 10.000 Dong.
 

Kopi Vietnam (dalam bahasa Vietnam: Cà phê)

Menunggu kopi siap. Dengan ditemani air teh.
Vietnam termasuk negara pengekspor kopi. Kenikmatan kopi vietnam sudah diakui oleh mancanegara. Di Vietnam sendiri, penyajian kopi pun khas. Kopi ditaruh di dalam suatu saringan khusus, kemudian dituangi air, dan dibiarkan menetes ke gelas yang sudah disiapkan di bawah saringan tersebut.
Orang Vietnam minum kopi pahit, dengan gula secukupnya. Kalau tidak biasa minum kopi pahit, bisa minta white coffee. White coffee berarti kopi susu. Di dalam gelas dimana kopi akan disaring, sudah disiapkan susu kental manis (kalau tidak salah, merknya antara lain Vinamilk) yang harum dan manis banget.
Di Hue ada banyak banget kedai kopi. Banyak di antaranya punya koneksi internet wi-fi gratis. Jadi kalau lagi jalan-jalan merasa perlu update status, bisa mampir di salah satu kedai kopi. Harga satu gelas kopi khas Vietnam di kedai-kedai ini cukup bervariasi, kira-kira sekitar 7.000 Dong sampai 10.000 Dong. White coffee lebih mahal daripada kopi hitam biasa.
Di banyak kafe di Hue, kursi-kursi dan mejanya berupa kursi dan meja plastik seperti bangku anak TK. Sama seperti lapak penjual kopi dan jajanan di pinggir jalan. Kursi-kursi umumnya ditata menghadap ke jalan. Jadi, walaupun orang datang ramai-ramai, mereka tidak duduk mengitari meja, melainkan duduk berjajar menghadap ke jalan. Mungkin karena yang nongkrong kebanyakan adalah bapak-bapak, nggosip bukan prioritas waktu berkumpul.
Kalau mampir ke Hue, jangan lewatkan untuk duduk-duduk di tepi Perfume River sambil menikmati kopi khas Vietnam. Ada beberapa spot yang enak. Saat kami di sana, kami nongkrong sambil bergadang di Cafe Thao Nguyen (Cà Phê Kem Thảo Nguyên), 11 Lê Lợi, Thành Phố, Huế.

Warung Nasi (dalam bahasa Vietnam: Cơm)

Warung nasi di depan hotel.
Cơm artinya nasi. (Jangan keliru dengan cốm yah. Cốm artinya beras hijau, salah satu makanan khas Vietnam.) Jadi kalau ada warung yang menuliskan cơm, artinya itu warung nasi, alias warteg a la Vietnam. Waktu malam pertama kami menginap di Hue, kami iseng makan malam di warung nasi di depan hotel. Dengan bahasa isyarat, jadilah kami membeli nasi dan beberapa macam lauk-pauk, yang kami pun tak tahu namanya apa.
Nasi yang dijual di warung itu pulen dan agak lengket-lengket seperti ketan. Lauk yang disediakan macam-macam. Yang jelas, disitu ada ikan goreng, babi panggang (rasanya asin), ayam rebus hambar (dipajang utuh di etalase), sayur lobak, dan sayur sawi asin. Semua itu ditemani bumbu tambahan semangkuk sambal dan semangkuk garam serta merica. Boleh minta tambahan bawang putih sebagai acar. Rasanya? Yah ... begitulah. Kecuali ayam rebus, asin banget semua.
Waktu kami makan, makanan yang disajikan banyak banget ... Ini pasti cara supaya bisa menarik uang sebanyak-banyaknya dari kami. Ayam saja, kita sudah memberi kode supaya hanya sedikit, eh... diberinya seperempat. Nasi dua piring mengunung, dan babi panggang ditumpuk-tumpuk di atas nasi. Apa boleh buat, nasib jadi turis yang bisu tuli. Total harga kami makan berempat 150.000 Dong.

Bubur/Sup Nasi (dalam bahasa Vietnam: Cháo)

Semangkuk chao long.
Cháo sebenarnya bukan bubur menurut standar Indonesia. Chao cenderung encer dan berasnya tidak terlalu merekah seperti bubur di Indonesia. Menurut saya, chao lebih cocok disebut sebagai sup nasi (sup dengan banyak butiran nasi di dalamnya). Berbeda dengan bubur di Indonesia, chao berasa lebih gurih. Kalau bubur di Indonesia, tanpa bumbu kan hambar.
Chao disajikan dengan lauk. Waktu kami mampir ke warung penjualnya, kami tidak tahu apa-apa tentang makanan ini. Jadi, waktu dia tunjuk-tunjuk panci sup dan tumpukan jerohan serta unggas rebus di etalase, kami okeh-okeh saja. Ternyata, yang dihidangkan untuk kami adalah cháo lòng dan cháo ga, salah satu makanan populer di kalangan penduduk Vietnam.
Cháo lòng adalah sup nasi dengan lauk jerohan babi. Jerohan babi direbus biasa (hambar). Bumbu-bumbu ditambahkan setelah potongan jerohan ditata di dalam mangkuk dan disiram dengan sup nasi. Waktu si Ibu mengaduk-aduk panci sup, saya sempat melihat ada tulang-tulang di dalamnya. Sepertinya, tulang-tulang itu adalah tulang babi. Pantas chao rasanya gurih.
Cháo ga adalah sup nasi dengan lauk potongan daging ayam. Sebenarnya, kemarin saat kami makan di warung itu, kami memperdebatkan apakah yang disajikan itu itik atau ayam. Pasalnya, dagingnya alot banget! Apalagi, di papan di depan warung ada tulisan chao long, chao ga, dan chao vit. Cháo vit adalah sup nasi dengan lauk potongan daging itik. Lengkaplah sudah kehebohan kami memperdebatkan jenis unggas itu. Sayangnya kami tidak bisa bertanya ke ibu penjual karena masalah bahasa. Jadi, sampai sekarang saya juga hanya menebak-nebak itu ayam atau itik.
Kami makan di warung di pinggir jalan yang menghubungkan Hue dengan kompleks-kompleks makam kaisar. Waktu saya makan, harganya 30.000 Dong per mangkuk, sudah termasuk minum teh tawar sepuasnya. Kayaknya itu harga turis. Tapi kan, kapan lagi makan di warung otentik di kampung, pinggiran kota Hue.

Ikan Bakar atau Grilled Whole Fish (dalam bahasa Vietnam: Cá Nướng)

Ikan keo bakar. Cuma ada di Vietnam.
Cá Nướng artinya ikan bakar. Nah, di malam terakhir kami di Hue, kami sepakat untuk makan di rumah makan yang lumayan mahal. Sekali-kali merasakan makanan berkelas di Hue. Saya lupa pesanan teman-teman saya apa. Yang jelas, saya memesan ikan bakar.
Ada beberapa pilihan, tapi yang saya pilih adalah odds grilled fish / cá kèo nướng. Menurut Wikipedia, nama latinnya cá kèo adalah Pseudapocryptes elongatus, hidupnya di dasar perairan payau atau di lumpur di hutan bakau, dan daerah penyebarannya di negara-negara Asia Tenggara. Kalau menurut YouTube, ikan ini bisa “melata” dan “melompat” di tanah becek dan lumpur di kawasan Delta Mekong. Saya cari nama dari jenis ikan ini dalam bahasa Indonesia ataupun dalam bahasa Inggris di internet tidak ketemu. Yang jelas, waktu hidangan sampai di atas meja, yang saya lihat adalah barisan ikan-ikan sepanjang sekitar 20 cm dengan ketebalan setara dengan ibu jari. Rasanya agak pahit. Tapi sejauh usaha googling saya, tidak ada negara yang menyediakan ikan jenis ini sebagai masakan, kecuali Vietnam.
Saya memakan ikan ini di rumah makan Góc Phố BBQ Corner, 45 Lê Lợi, Huế. Harganya 60.000 Dong.

Bir (dalam bahasa Vietnam: Bia)

Yang namanya bir, ya jelas bir. Hue kebetulan merupakan tempat salah satu pabrik bir di Vietnam yang saat ini sudah dibeli oleh Carlsberg. Merk yang diproduksi di situ antara lain adalah Huda (jenis pale lager) dan Festival (jenis lager). Huda dan Festival merupakan bir khas Hue. Bir di Vietnam murah, per botol paling 15.000 Dong, alias sekitar Rp 8.000,-

Vietnamese spring roll (dalam bahasa Vietnam: Bánh Tráng Cuốn)

Spring roll yang dibeli di pasar. Enak!
Kudapan khas Vietnam ini sangat dikenal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Spring roll ini adalah makanan tradisional, yang tidak ada pakem baku untuk isinya. Jadi, beda warung, bisa beda isi spring rollnya. Waktu saya makan di warung di Pasar Dong Ba, spring roll yang disajikan berisi udang kecil dan daging babi. Sayurnya segar banget. Bumbu kacangnya ditumbuk kasar, jadi rasa kacangnya berasa banget. Kalau jalan-jalan ke Vietnam, pastikan mencoba makanan ini.

Bánh Nậm

Banh nam, rasanya gurih plus pedas.
Tidak ada nama Inggris maupun nama Indonesianya. Kudapan yang hanya ditemukan di Hue ini terbuat dari tepung tapioka. Isinya olahan daging babi (chả lụa), potongan jamur, potongan cabe, dan beberapa sayuran seperti loncang. Banh nam dikukus dengan dibungkus daun pisang, dan baru dibuka saat dihidangkan. Oh ya, di warung itu, chả lụa juga dihidangkan dan dapat dimakan begitu saja. Chả lụa bentuknya seperti ham babi Ma Ling, tapi ada campuran sayur dan bumbunya.

Bánh Bèo

Banh beo. Yang oranye itu udang kering.
Yang ini juga tidak ada nama Inggris maupun nama Indonesianya. Makanan khas Hue ini terbuat dari tepung beras yang dibentuk melingkar. Di atasnya, ditaburi udang kering. Rasanya sudah pasti enak.
Saya makan makanan ini di pasar Dong Ba. Memang kalau untuk jajanan pasar, mendingan nyari di pasar. Dijamin dapat yang otentik!

Chè

Penjual che di pinggir jalan.
Chè sebenarnya istilah orang Vietnam untuk makanan manis yang bisa untuk hidangan penutup atau camilan. Menurut saya, istilah chè kalau di Indonesia sama seperti istilah tajil. Bedanya, seorang penjual tajil biasanya tidak menyediakan variasi isi sebanyak seorang pedagang chè.
Penjual chè biasanya terlihat menyediakan banyak kotak-kotak yang berisikan pilihan isi chè. Ada kacang manis, biji lotus, agar-agar, ketan, potongan lidah buaya, durian, olahan ubi, bermacam-macam jenang, dan lain-lain. Pembeli dapat memilih di antara pilihan “isi”-nya. Semuanya dicampur dalam satu gelas, lalu ditambah susu, atau santan, dan gula cair, lalu diberi topping seperti cokelat tabur atau kacang. Jadi deh. Rasanya manis dan segar sekali. Biasanya chè disajikan dingin.
Banyak orang Vietnam yang suka nongkrong di lapak penjual chè malam-malam di pinggir jalan. Kalau suatu hari berkesempatan ke Vietnam, jangan sampai tidak menyempatkan diri untuk menikmati chè di malam hari. Kami membayar 20.000 Dong per gelas.

Bánh Tráng Nướng

Penjual banh trang nuong di bawah jembatan Truong Tien.
Tidak ada nama Indonesia atau nama Inggrisnya. Makanan ini terbuat dari rice paper (tepung beras yang dibuat menjadi lembaran tipis berbentuk lingkaran) yang dipanggang. Di atas rice paper, telur diaduk bersamaan dengan sayur, potongan bawang, dan olahan daging (sosis dan chả lụa). Kalau dimakan kriuk-kriuk.
Kami makan di pasar malam di pinggir Perfume River, persis di bawah Truong Tien Bridge. Duduk di bangku plastik kecil seperti anak SD, dan mejanya pendek. Di sekitar kami, kebanyakan adalah anak muda yang duduk beramai-ramai atau berduaan. Walau ramai, pasar malam di Hue bersih, jarang terlihat sampah. Jadi, walaupun duduk di kolong jembatan, tetap terasa nyaman. 
(bersambung)

0 Komentar:

Posting Komentar