9 Desember 2013

7. Sehari menapaki Warisan Budaya Dunia Malaka 

Tidak ada yang beranjak dari tempat tidur sampai matahari sudah tinggi. Hilang sudah rencana untuk jalan-jalan dipinggir pantai menunggui sunrise. Yang ada, kami makan pagi di hotel sekitar jam 9 dan baru setelahnya jalan ke Jonker street.

a. Jonker Street

Dari hotel, kami melewati pusat informasi turis, menyeberangi sungai Malaka, dan tiba di gerbang masuk Jonker street. Jonker Street sebenarnya hanyalah bagian dari Chinatown tua di kota Malacca. Daerah ini sudah menjadi pusat kegiatan turisme yang mana hampir semua bangunan di daerah ini adalah cafe, toko-toko, dan juga museum. Kalau berminat melihat daerah modernnya, cukup melewati Jalan Hang Jebat (nama resminya Jonker Street) sampai ke ujung yang di Barat Laut. Itu sudah perumahan penduduk biasa di daerah pecinan modern.
Tepian Sungan Melaka.
Di pagi-pagi itu, kami menyusuri sungai Melaka sambil foto-foto dengan latar belakang bangunan cina tua. Setelah itu baru berbelok dan berputar-putar di daerah Jonker. Untuk orang yang senang memfoto-foto bangunan klasik, harus sedia memory card cadangan di sini. Kebanyakan toko dan rumah makan bukanya jam 10-an, jadi untuk belanja-belanja masih harus menunggu. Tapi untungnya, bangunan-bangunan bersejarah sudah buka dari pagi sehingga bisa dikunjungi terlebih dahulu.

Pertama-tama kami datang ke Jonker Walk Park, sebuah taman mungil yang mana terdapat patung Bapak Bodybuilding Malaysia, Datuk Wira Dr. Gan Boon Leong. Taman ini kecil dan dipenuhi dengan patung hewan serta patung-patung kecil lainnya. Walau pengunjung saat itu cuma belasan, rasanya sesak juga masuk ke situ.

Kuil Cheng Hoon Teng
Dari situ kami berjalan ke Kuil Cheng Hoon Teng, yang termasuk kuil cina tertua di Malaysia. Kuil ini didirikan di abad ke-17. Tempat ini masih aktif dipakai, dan saat kami ke sana ada orang-orang yang sedang minta diramal dengan menggunakan batang-batang kayu yang diberi nomer. Kalau ke sini, jangan lupa mengamati ukiran-ukiran di atap dan di temboknya, bagus dan terawat. Sebenarnya di area Jonker ini ada banyak kuil cina, dan semuanya aktif, walau tidak setua Kuil Chen Hoon Teng. Misalnya, tepat di seberang Kuil Cheng Hoon Teng juga ada kuil kecil, dan tak jauh dari situ ada kuil Dewi Kwan Im. Masih ada beberapa kuil cina lain. Karena keterbatasan waktu, dan karena bukan termasuk tempat wisata sejarah, maka kami hanya lewat di depannya saja.

Di dekat Kuil Cheng Hoon Teng, ada Kampung Ketek. Yang dimaksud dengan Kampung Ketek adalah sebuah gang dimana rumah-rumah disitu berbentuk rumah tradisional Malay. Rumah tradisional Malay adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Gang ini kecil dan jumlah rumahnya hanya 7. Karena jalan masuknya kecil, nampaknya daerah ini sering terlewatkan oleh turis.

Selanjutnya kami berjalan melewati Masjid Kampung Kling. Masjid ini unik karena menaranya bertingkat seperti pagoda. Atap masjid bentuknya persegi dan bertingkat, seperti masjid-masjid kuno di daerah pesisir utara pulau Jawa. Kami tidak masuk kedalam masjid ini, jadi hanya foto-foto di depannya saja.

Selanjutnya kami menuju ke Kuil Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi, salah satu kuil hindu tertua di Malaysia. Bangunan ini unik, dicat kuning dan putih, kontras dengan bangunan pecinan yang lebih sering dicat berwarna merah. Kami tidak masuk kedalam, jadi hanya foto-foto di luar saja. 

Setelah itu kami berjalan-jalan menuju Baba & Nyonya Heritage Museum. Karena kami nyasar, kami jadinya berputar-putar dulu di area Jonker ini. Nama jalan di sini ada yang menggunakan nama pekerjaan, misalnya Jalan Tukang Emas, Jalan Kampung Kuli, dan lain-lain. Ada juga yang menggunakan landmark sepert Jalan Gereja atau Jalan Masjid Tanah.

Untuk masuk ke Baba & Nyonya Heritage Museum, harus ikut tour khusus yang hanya ada di jam-jam tertentu. Waktu kami sampai di sana sekitar jam 11-an, ibu-ibu penjaganya menginformasikan agar kami datang lagi jam 11:30 di jadwal tour selanjutnya. Untuk menunggu jadwal tour selanjutnya, kami mampir dulu ke sebuah warung untuk mencoba es durian cendol yang khasnya Melaka. Es durian cendol adalah es serut yang diberi durian, cendol, kacang merah, dan sirup gula merah. Rasanya enak. Apalagi waktu siang panas-panas. Ada berbagai variasi cendol yang dijual, harganya sekitar RM 3,5. Setelah puas minum es cendol, kami kembali ke Baba & Nyonya Heritage Museum untuk mengikuti tour.

Kalau kuil-kuil tadi dapat didatangi secara gratis, nah ... museum ini dapat dimasuki setelah pengunjung membeli karcis seharga RM 12. Karena museum ini milik pribadi, dan barang-barang disini dijaga dengan ketat, pengunjung tidak boleh berkeliaran tanpa tour guide dan dilarang mengambil gambar.Tour guide yang sudah terlatih menjelaskan tentang kehidupan kaum elit cina di Melaka di jaman dulu. Baju-baju tradisional, dari baju ulang tahun, baju pernikahan, baju pesta,  dan baju untuk berkabung dipamerkan. Barang pameran yang paling banyak adalah piring dan gelas dengan corak-corak yang klasik.

Makan siang!
Selesai tour, kami segera mencari tempat makan siang. Pilihan kami adalah Famosa Chicken Rice Ball. Walau hidangan yang paling dikenal adalah nasi ayam, kami sengaja tidak memesan ayam. Teman saya memesan barbeque pork dan saya memesan roast duck. Harga makanan di sana berkisar mulai dari RM 8. Semua ada harganya, tissue basah juga ada harganya – kalau tidak mau pakai, langsung dikembalikan saja ke pelayannya. Oh ya, porsinya lumayan, bisa buat berdua kalau mau berhemat.

Dari situ kami memutuskan untuk berkeliling mencari oleh-oleh. Untuk orang yang hobi beli kaos, Jonker adalah tempat yang tepat. Di sini ada banyak toko penjual kaos-kaos dengan desain yang lucu-lucu. Toko yang cabangnya cukup banyak di sini adalah Jonker Gallery. Tapi selain itu, banyak toko T-Shirt yang tak kalah unik. Menurut internet sih harganya murah-murah, tapi sepanjang mata memandang ... harganya sama seperti di mall di Jakarta. Harganya mulai dari RM 25 dan ada juga yang lebih dari RM 50. Ada juga yang diskonan, tapi saat itu modelnya biasa saja. Di pinggir jalan juga ada pedagang yang buka lapak berjualan gantungan kunci, perhiasan wanita, sandal warna-warni, kerajinan, dan lain-lain. Tak kalah banyak, adalah penjual makanan seperti soes durian, es cendol, es krim, atau kue-kue lainnya. Semakin siang, area ini semakin ramai. 

Karena kami berjalan-jalan di hari Senin, maka mobil juga lalu lalang di tengah-tengah pejalan kaki. Katanya kalau weekend ditutup untuk kendaraan. Hal yang harus diingat adalah jam kerja toko dan rumah makan. Hampir semuanya baru buka jam 10, bahkan ada yang baru buka jam 11 siang. Tapi jam 6 sore, semuanya tutup. Hanya segelintir pedagang kue dan souvenir yang buka lewat jam 6. Katanya sih, kalau weekend bisa buka sampai jam 10 malam – tapi malangnya saya tidak sempat membuktikan kebenarannya.

Perkecualian dari jam operasional di atas adalah ... Resto & Bar. Kalau niatnya adalah backpacking dan makan murah, malam-malam harus cari makan di luar area Jonker. Kalau tujuannya adalah minum bir rame-rame dengan teman-teman, atau makan kepiting masak lada hitam dan salmon steak, maka tempat ini tepat untuk didatangi. Bagi yang cinta Hard Rock Cafe, bisa nongkrong di situ di ujung Jonker Street. Asik kan ...

b. St Paul’s Hill

Setelah puas berkeliling di Jonker Street, saya dan teman saya beralih ke St Paul’s Hill. Area ini sebenarnya dekat dengan hotel kami – cuma di seberang jalan saja. Dari Jonker, menyeberangi sungai Melaka ke arah hotel, kami tiba di Stadthuys. Stadthuys adalah salah satu landmark Malaka yang mudah dikenali orang karena tembok bangunan ini dicat berwarna merah. Di dalamnya terdapat museum Etnografi, di lantai dua. Sayang waktu kami datang, bangunan Stadthuys sedang direnovasi, jadi kurang menarik untuk difoto.

Di kompleks yang sama, terdapat juga The Christ Church, Air Mancur Queen Victoria, dan Tan Beng Siew Clock Tower. Semua bangunan di sini, termasuk ruko-ruko yang berdekatan, temboknya dicat merah marun. Untuk yang suka mengirimkan kartu pos kalau sedang berwisata, bisa mendatangi kantor pos yang juga berada di area ini. Oh ya, The Christ Church ini gereja Anglikan. Kalau berjalan kaki sekitar 150 meter ke arah utara, maka akan terlihat Gereja Katholik St. Francis Xavier. Kedua gereja ini sudah dibangun dari masa kolonial dulu, dan masih aktif hingga saat ini.

Di seberang Stadthuys, ada reruntuhan benteng. Sebenarnya tinggal pondasi tembok saja yang ada. Tetapi situs ini penting karena terkait dengan sejarah kota Melaka. Kalau penggemar bangunan, mungkin akan suka memperhatikan bedanya pondasi tembok benteng belanda, portugis, dan inggris.

Di kaki St Paul’s Hill, bangunan-bangunan kuno yang ada banyak dipakai sebagai museum. Sepanjang ingatan saya, di luar Museum Etnografi, ada Museum Pendidikan, Museum Belia, Museum Islam, Museum UMNO, dan masih ada beberapa lagi. Tidak semuanya saya datangi. Saya cuma mampir di Museum Seni Bina Malaysia sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak bukit.

Naik ke puncak lumayan juga kalau nggak biasa jalan. Untuk kemarinnya sudah latihan di Gua Tempurung. Hehehe ... Pintu gerbang menuju tangga yang mendaki hingga puncak bukit cukup sempit. Tiga orang berjajar juga sudah memenuhi gerbang. Di dekat gerbang itu ada papan bertuliskan “Bukit St Paul” dengan arah panah menuju ke atas. Jadi turis tidak mungkin nyasar. Di sepanjang tangga naik ada penjual-penjual lukisan. Teman saya membeli satu lembar. Cuma saya tidak tanya berapa harganya.
Bagian dalam Gereja St. Paul.

Di puncak St Paul’s Hill ada gereja St Paul. Gereja ini dibangun di abad ke-16, dan sebenarnya merupakan kapel yang dibangun oleh Portugis. Untuk yang beragama Katholik, tempat ini bisa jadi tempat bersejarah secara khusus juga karena di sini sempat dikuburkan Santo Fransiskus Xaverius sebelum dibawa ke Goa untuk dikuburkan selamanya. Gereja ini sudah tidak bisa dipakai, tidak ada atap, pintu, ataupun jendela. Hanya ada temboknya saja. 

Di tembok, dipasang slabstone yang dulunya dipakai untuk menutup kuburan kuno. Aslinya di luar gereja memang kuburan. Karena perubahan fungsi bangunan (dan peta politik) di area Malaka, maka beberapa slabstone itu ditaruh menjadi hiasan di dinding reruntuhan gereja ini. Di tempat dimana dulunya sempat dikuburkan Santo Fransiskus Xaverius, lubang kuburannya tidak ditimbun, melainkan dijaga dan ditutupi dengan kerangkeng besi. Banyak orang yang melempar uang kedalamnya – tapi susah loh, soalnya kerangkengnya lumayan rapat. Mungkin seperti kepercayaan melempar koin ke dalam wishing well yah.

Turun di sisi timur bukit, kami langsung bertemu dengan Porta de Santiago, gerbang benteng portugis A Famosa. Dari benteng yang dulunya mengelilingi bukit tersebut, hanya gerbangnya ini saja yang tersisa. Pendirinya adalah d’Albuquerque, yang nantinya juga berpengaruh pada sejarah kolonialisme di Indonesia. Hanya saja, walau pendirinya adalah Portugis, lambang yang masih menempel di atas gerbang adalah lambang VOC, yang belakangan berhasil merebut benteng ini. Tempat ini bagus buat foto-foto, cuma sayangnya banyak yang berpikiran begitu ... jadinya rebutan deh untuk bisa dapat latar belakang yang okeh.

Porta de Santiago, dilatari gereja St Paul (atas).
Tepat di sebelah benteng ada gedung Istana Kesultanan Melaka, yang sebenarnya merupakan replika dari istana yang sesungguhnya. Gedung aslinya sebenarnya didirikan di puncak St Paul’s Hill oleh Sultan Mansur Syah di abad ke-15, namun sudah hancur. Tidak ada yang pernah melihat secara langsung keindahan istana ini. Perancangan replika bangunan ini hanya didasarkan pada catatan-catatan sejarah melayu kuno yang memuat detil arsitektur bangunan tersebut. Salut kepada arsiteknya! Tiket masuknya RM 2 per pengunjung. Adapun isi dari replika istana ini adalah diorama kisah-kisah sejarah dari Melaka dan ruang pamer barang-barang kuno Malaysia. Di lantai paling atas, ada diorama kisah Hang Tuah dan Hang Jebat.

Keluar dari museum ini, turun gerimis. Walhasil teman saya dan saya sepakat untuk pulang dulu ke hotel dan istirahat sebelum mulai jalan lagi. Untung jarak antara Istana Kesultanan Melaka dan hotel kami hanya 10 menit jalan kaki.

c. Area lain di Melaka

Setelah sempat tidur dan bersantai, kami kembali melanjutkan jalan-jalan kami di sekitaran kota tua Melaka. Tujuan kami selanjutnya adalah menara Taming Sari. Menara ini adalah menara berputar dimana pengunjung dapat melihat kota Melaka dari ketinggian 80 meter. Harga tiket RM 20 untuk dewasa, kalau punya MyKad diskon 50%. Jaraknya tidak jauh dari kompleks Warisan Dunia Melaka. Menara Taming Sari, terletak di area Taman Merdeka yang ada di seberang deretan museum-museum di kaki St Paul’s Hill. Tidak mungkin tersesat karena menara itu tinggi sehingga terlihat dari arah manapun juga.

Jangan heran kalau harus antre untuk bisa masuk ke Menara Taming Sari. Wisatawan lokal juga senang naik ke menara ini. Setelah seharian kami lebih banyak bertemu dengan turis-turis dari Singapura atau bule, kini kami mengantre bersama dengan turis lokal. Kami naik saat matahari sudah tenggelam. Memang sengaja sih, supaya bisa melihat Melaka di waktu malam. Menarik juga.

Menuju Menara Taming Sari.
Kalau tidak tertarik untuk naik ke atas menara dan lebih suka berbelanja, daerah di sekitar kompleks juga bisa dijadikan tujuan wisata sekunder. Di seberang Museum Maritim, ada pasar yang menjual oleh-oleh. Kalau mau cari sambal belacan dan cencaluk, bisa beli di situ. Satu botol harganya RM 3. Ada juga pasar seni, yang menjual kerajinan lokal. Kalau mau belanja di tempat yang lebih mentereng, ada dua Mall yang cukup dekat. Mall Dataran Palawan terletak di seberangnya Porta de Santiago. Kalau dari Menara Taming Sari menyeberangi jalan Merdeka,  lalu jalan sedikit, akan sampai di Mall Mahkota Parade. Setelah puas jalan-jalan dan membeli oleh-oleh, kamipun pulang ke hotel. 

8. Hari terakhir: Pulang

Pesawat kami berangkat jam 10, jadi pagi-pagi kami harus mengambil bus dari Melaka Central yang akan mengantar kami ke LCCT. Karena bus dalam kota baru beroperasi sekitar jam 8, dan kami mau mengambil bus yang berangkat pukul 6:30 pagi, maka taksi menjadi satu-satunya pilihan. Kami pesan via hotel pada malam sebelum keberangkatan. Biayanya RM 40. Sebenarnya, kalau kata Mbah Google, harganya cukup RM 15 – atau RM 20 kalau malam hari. Tapi, kata resepsionis hotel, tidak ada sopir taksi yang mau kerja sebelum jam 7 pagi, jadi biayanya dua kali lipat dari normal. Sebel tapi nggak bisa komplain. Lain kali, pesen taksi jauh-jauh hari, biar masih sempat cari pembanding.

Jarak Melaka Central ke LCCT sekitar 2 jam, jadi memang harus berangkat pagi. Kalau ambil pesawat yang lebih pagi, bisa-bisa harus naik taksi dari hotel ke LCCT – bisa habis RM 200 lebih. Dari Melaka Central ke LCCT naik bus Transnasional biayanya RM 24,10. Waktu tempuh kurang lebih dua jam.

Setelah melewati antrean check-in, bagasi, dan imigrasi, akhirnya kami duduk manis di ruang tunggu. Yah, selesai deh liburan. Besok sudah kembali bekerja.

(Selesai.)

0 Komentar:

Posting Komentar