14 Juni 2016

Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal terletak di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan. Bagunan ini cukup menarik perhatian karena tepat di pinggir jalan raya dan bentuknya kuno. Selain itu papan yang bertuliskan "Cagar Budaya Nasional” di depan gedung ini cukup menarik wisatawan untuk mencari tahu gedung apa ini sebenarnya.
Bagian depan Paseban Tri Panca Tunggal.
Sayangnya, tidak ada satupun pintu dan jendela yang terbuka. Tidak ada penjaga, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sudah beberapa kali saya mendengar cerita dari teman, ataupun membaca dari blog pribadi, bahwa mereka datang ke situ hanya untuk melihat pintu dan jendela yang tertutup rapat. Jadinya, banyak yang hanya berfoto di depan gedung – atau bahkan hanya melewatinya saja.
Untungnya, saat saya ke sana, saya tidak hanya sempat mengintip isi gedung, namun juga masuk ke dalamnya. Dan ini tanpa janjian dengan siapa-siapa saja lho, ya.
Jadi, di sebelah gedung Paseban Tri Panca Tunggal ini, ada bangunan dengan atap bertumpuk seperti bangunan kuil di Bali. Tertarik untuk menyelidiki lebih lanjut, saya dan rombongan datang ke situ. Melihat saya tengok-tengok di pagar, seorang bapak-bapak datang dan menanyakan apa maksud kami ke situ. Saya langsung bertanya, apakah kawasan ini merupakan desa budaya, karena bangunannya unik. Bapak-bapak itu lalu menjawab bahwa ada yang lebih berhak untuk menjawab pertanyaan saya. Dia lalu menghampiri seorang bapak-bapak lain yang kemudian datang dan menyambut kami. Tak disangka, bapak-bapak yang datang belakangan itu adalah Pangeran Gumirat Barna Alam.
Tempat pertemuan saat Pemimpin Paseban membahas kegiatan Seren Taun.
Siapa itu Pangeran Gumirat Barna Alam? Ternyata beliau adalah keturunan langsung dari pendiri Paseban Tri Panca Tunggal, Kiai Madrais. Tak hanya disambut, kami serombongan pun diajak masuk ke dalam gedung Paseban dan duduk di ruang tengah. Itupun, masih ditambah dengan suguhan teh manis dan oleh-oleh makalah tentang sejarah Paseban Tri Panca Tunggal yang diprint berwarna. Hebat, nggak?
Tidak hanya mendengarkan tentang sejarah berdirinya Paseban Tri Panca Tunggal, kami pun juga mendapatkan cerita tentang sejarah Desa Cigugur dan area Cirebon dari jaman kekuasaan Kerajaan Pajajaran hingga jaman kemerdekaan.
Paseban Tri Panca Tunggal di masa penjajahan Belanda adalah rumah tinggal dari Kiai Madrais, seorang tokoh di daerah Kuningan, salah satu keturunan dari Pangeran Gebang. Pangeran Gebang dulunya adalah penguasa dari Kepangeranan Gebang. Area Kepangeranan Gebang cukup luas, dari pantai Cirebon (di sebelah timur Kota Cirebon) hingga daerah Cijulang (dekat Pantai Pangandaran).
Koleksi kain batik di dalam Paseban. Menunjukkan keragaman.
Paseban Tri Panca Tunggal saat ini difungsikan sebagai tempat berkumpul dan berdiskusi dengan tujuan untuk menimbulkan rasa saling menghormati antar pemikiran dan keyakinan. Paseban artinya tempat berkumpul dan bersyukur. Tri adalah penyelarasan dari tiga unsur, yaitu Sir (Budi), Rasa, serta Pikir. Panca adalah panca indera, yang menerima keagungan yang Maha Kuasa. Tunggal menegaskan tentang penyelarasan atau penyatuan dari keseluruhan unsur serta panca indera.
Selama perbincangan di dalam Paseban, Pangeran Gumirat Barna Alam menjelaskan pentingnya untuk saling menghargai keragaman. Beliau juga menginformasikan bahwa masyarakat Kuningan memiliki budaya Seren Taun yang diselenggarakan setahun sekali. Mungkin bisa juga datang kalau ada kesempatan. Di akhir pertemuan, beliau bahkan menyanyikan lagu karangannya sendiri yang isinya adalah perdamaian dan ajakan saling menghormati.
Bangunan bernuansa mirip Bali yang menarik perhatian kami. Ternyata juga bagian dari Paseban Tri Panca Tunggal.
Jujur saja, sebenarnya tadinya saya hanya ingin berfoto di depan gedung Paseban yang kelihatan bernuansa kolonial. Sungguh tak terduga justru bisa bertemu langsung dengan keturunan pendirinya. Paling tidak, satu jam kami berbincang dengan beliau, kami mendapatkan pengetahuan baru tentang keragaman budaya Nusantara.
Oh ya, Paseban Tri Panca Tunggal dilewati oleh angkot 09 jurusan Pramuka – Cigugur. Jadi wisatawan bermodal kendaraan umum juga bisa ke sini dengan kendaraan umum. Angkot ini juga melewati Wisata Terapi Ikan Cigugur, dan nantinya rutenya akan berakhir pertigaan Cigugur.
(Bersambung.)

2 Komentar:

  1. Wah seru sekali pengalamannya jadi pengen coba nih, tapi kayanya masih belum cukup nih tabungannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mari terus menabung untuk bisa jalan²! Ini saya juga bicara kepada diri sendiri lho ya...

      Hapus