2 Maret 2019

Siapa orang Indonesia yang tidak pernah mendengar nama Multatuli atau Eduard Douwes Dekker? Penulis buku Max Havelaar ini dulunya pernah menjabat sebagai asisten residen di daerah Lebak, dan bekerja di Rangkasbitung. Walaupun jalan hidupnya cukup berliku dan tidak bisa dikatakan manis, Eduard Douwes Dekker berhasil menuliskan karya yang sangat berpengaruh pada dunia sastra di Indonesia. Bahkan, salah satu bagian dari bukunya, yaitu mengenai kisah kasih antara Saidjah dan Adinda, menjadi salah satu kisah cinta tragis klasik di Indonesia.
Patung Multatuli sedang membaca buku, didampingi Saidjah dan Adinda, menyambut pengunjung museum.
Untuk mengenang Multatuli, dan juga untuk meningkatkan pemahaman mengenai sejarah daerah Lebak dan sekitarnya di jaman penjajahan Belanda, di bulan Februari 2018, diresmikan Museum Multatuli di kota Rangkasbitung. Museum ini terletak di dekat alun-alun Rangkasbitung, dimana bangunan yang digunakan dulunya adalah kantor dan kediaman Wedana Lebak. Bangunan ini didirikan di tahun 1923.
Satu kompleks dengan museum ini, terdapat Perpustakaan Saidjah Adinda, yang mana gedungnya berwarna cokelat kayu unik, dengan pendopo besar yang digunakan untuk berbagai kegiatan pemuda. Kalau waktunya cukup, saya pasti sudah langsung masuk ke dalam perpustakaan ini. Sayangnya saya tidak bisa lama-lama di sini. Jadi saya buru-buru masuk ke Museum Multatuli.
Museum Multatuli adalah museum modern yang lebih menekankan pada pemahaman dibandingkan sekadar pameran barang kuno. Museum ini ditata sesuai dengan alur cerita yang mudah dipahami dan penataan interior yang cantik. Tak heran banyak pengunjung yang menggunakannya untuk tempat selfie. Tapi di luar penataan ruang yang menarik, informasi yang disampaikan padat dan tepat sasaran. Di museum ini, kita bisa belajar tentang kondisi politik dan ekonomi daerah Lebak di jaman penjajahan dan juga kronologi pergerakan kemerdekaan serta peristiwa penting yang terjadi di Lebak.
Salah satu instalasi pameran di dalam Museum Multatuli.
Salah satu bagian dari Museum Multatuli.
Oh ya, yang saya cukup suka dari museum ini adalah penggunaan multimedia untuk membantu pengunjung mendapatkan gambaran yang utuh mengenai kondisi Lebak di jaman Multatuli. Di museum ini juga dipamerkan kopian surat-surat yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker. Waktu saya berkunjung, ada sepasang remaja yang berusaha membaca dan menerjemahkannya. Sepertinya mereka mahasiswa Hukum.
Di luar museum, juga terdapat spot yang tak kalah menarik, yaitu patung Multatuli sedang membaca buku, sambil duduk di dekat sebuah lemari. Patung ini terletak di atas semacam panggung, jadi pengunjung bisa berfoto-foto dari sudut yang berbeda-beda. Sepertinya area patung ini memang dibuat untuk tempat foto-foto pengunjung.
Untuk yang  berminat berkunjung kemari, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Museum tutup di hari Senin. Di hari lain, buka jam 08:00 pagi dan tutup jam 16:00, tapi kalau hari Sabtu dan Minggu buka jam 09:00. Setiap hari, museum ini ditutup pada jam 12:00 sampai jam 13:00 untuk istirahat pengelolanya. Khusus hari Jumat, pengelola museum istirahat dari jam 11:30 sampai dengan jam 14:00. Jadi jangan datang dekat-dekat jam makan siang, karena di waktu istirahat seluruh pengunjung akan diminta meninggalkan gedung museum, dan baru bisa kembali setelah jam istirahat selesai.
Dari Museum Multatuli, kami iseng mencari tahu di mana letak bekas rumah tempat tinggal Eduard Douwes Dekker saat menjabat sebagai Asisten Residen Lebak. Setelah tanya ke sana-sini, ternyata rumah yang dulu ditinggali oleh Asisten Residen Lebak masih berdiri sampai sekarang. Dengan penuh rasa penasaran, kami lalu menuju ke tempat yang dimaksud.
Rumah Multatuli yang nampak reyot tak terurus.
Rumah yang dulu pernah ditingali oleh Eduard Douwes Dekker terletak di dalam kompleks RSUD Dr. Adjidarmo Rangkasbitung. Rumah sakit ini letaknya di dekat alun-alun, jadi tidak jauh dari Museum Multatuli. Nah, kalau kita mau cari rumah Multatuli ini, ya kita harus masuk ke dalam kompleks rumah sakit. Bahkan, jalan paling cepat adalah masuk lewat lobby dan langsung menuju ke bagian tengah kompleks.
Rumah Multatuli sudah menjadi cagar budaya. Artinya, bangunan ini tidak boleh dirusak ataupun sembarangan direnovasi. Mungkin karena ijin renovasinya susah atau karena modalnya kurang, rumah Multatuli ini kini hanya tinggal rumah reyot yang tak terurus. Saya yakin dulunya rumah ini cukup mewah dan berada di antara barisan rumah-rumah dupleks khas jaman Belanda yang cantik. Tapi apa boleh buat, jaman berubah. Kini yang hilir mudik di sekitar rumah reyot ini adalah pasien, petugas rumah sakit, dan orang-orang yang akan besuk ke rumah sakit.
Melihat kisah perjalanan sejarah daerah Lebak di Museum Multatuli, dan kemudian membandingkannya dengan kondisi Rumah Multatuli saat ini, saya tersadarkan bahwa kemewahan itu sifatnya semu. Di dalam museum, saya belajar bahwa kolonialisme bersanding dengan korupsi dan pemerasan terhadap rakyat – dan salah satu kebanggaan pejabat kolonial pada masa lalu itu, rumah dinas, kini tinggal bangunan reyot di tengah gedung rumah sakit yang ramai. Siapa tahu apa yang terjadi di masa depan?
Pesan Multatuli yang tak lekang dimakan jaman.
Bahwa karirnya yang pendek di Lebak ternyata menghasilkan karya sastra yang berhasil menggugah nurani banyak orang untuk menentang kolonialisme, mungkin itu sesuatu yang juga tidak disangka oleh Pak Dekker. Dia tentunya juga tidak menyangka bahwa sampai sekarang orang masih mengingat namanya. Bisa saja, sesuatu yang kecil yang saat ini kita lakukan, bisa besar dampaknya di masa yang akan datang. Yang penting kita menjalankannya sesuai dengan hati nurani kita. Seperti kata Multatuli sendiri, “Tugas Manusia adalah Menjadi Manusia.”

27 Komentar:

  1. menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya... mbak semangat

    BalasHapus
  2. Sayang bener ya, rumah yang sangat kokoh di zamannya itu ga dirawat, atau dialihfungsikan saja biar ga roboh gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Katanya sih, ada wacana untuk renovasi. Tapi entah kapan dijalankannya.

      Hapus
  3. Salah satu liburan yg kusuka berkunjung ke museum :)
    Btw kalau kesini free atau ada HTMnya mba?

    BalasHapus
  4. Aku ikut lega setelah baca rumah milik Multatuli sudah ditetapkan sebagai cagar budaya ....

    Sangat disayangkan kalau suatu rumah atau bangunan punya nilai historis tinggi tapi ditelantarkan atau juga dipugar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya... Sayang juga kan. Rumahnya juga bisa jadi museum kecil.

      Hapus
    2. Betul, kak.
      Bangunan bersejarah seperti ini sudah semestinya segera masuk dalam daftar cagar budaya dan secara kontinyu dirawat misal dicat ulang tapi tanpa merubah bentuk asli bangunannya.

      Hapus
    3. Setuju. Yah ... perjalanan masih jauh untuk pengelolaan cagar budaya di Indonesia.

      Hapus
  5. Instalasi pamerannya bagus sekali ya sederhana tapi ada sentuhan moderennya, pesan Multatuli di foto terakhir ini juga cukup sederhana tapi maknanya dalam dan setiap orang punya pandangan berbeda ttg hal ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mbak. Kata "manusia" itu artinya dalam, tapi jarang ada orang yang berusaha memahaminya.

      Hapus
  6. Sayang sekali rumah peninggalam Douwes Dekker dibiarkan begitu saja, padahal bisa menjadi napak tilas buat belajar sejarah yang bagus. Rumah itu mengingatkan saya sama banyak rumah dinas guru di SD Inpres yang juga bernasib serupa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh iya, Pak. Banyak rumah dinas tahun 80-an yang sekarang tak terawat. Entah mengapa.

      Hapus
  7. Sayang yah rumah yg jadi bagian sejarah negeri kita kurang mendapat perhatian dari pemerintah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Pak. Tapi masih mending, daripada dibongkar untuk dijadikan mall.

      Hapus
    2. iya juga sih. Smg ada perhatian dari pemda dki, jadi bisa dikembangkan jadi wisata edukasi

      Hapus
  8. Kisah yg menarik..sya suka smaa sejarah jg :)

    BalasHapus
  9. Aku pernah baca kisah multatuli ini di majalah anak2 ananda dulu. Meski nonpri tapi dia ikut berjuang untuk indonesia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, dia menulis buku yang membela rakyat Indonesia.

      Hapus
  10. Beruntung dibangun Museum Multatuli, setidaknya namanya tetap dikenang Bangsa Indonesia.
    Bukunya benar benar menyadarkan orang-orang di negaranya, dibalik negaranya yang indah, ada orang orang yang tertindas karena terjajah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Berani ya, menulis begitu. Saya belum tentu berani.

      Hapus
  11. Dan baca ini bikin saya penasaran pengen baca karya2 beliau..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betulnya saya juga gak pernah baca Max Havelaar. Tapi kalau Saidah dan Adinda, pernah. Ada filmnya juga kok.

      Hapus
  12. wah ternyata keren juga ya. kapan kapan ah nyoba mampir ke museum ini di rangkasbitung. makasi infonya ya mba Dyah:)

    BalasHapus