5 Juni 2019

Setelah beberapa waktu mengelola blog pribadi dengan niche travel, dan juga blogwalking ke travelblog lain, saya mengambil kesimpulan bahwa mencari ide tulisan travel itu tidak mudah. Isi artikel di dalam blog travel sudah pasti harus terkait dengan suatu perjalanan. Bisa berupa tujuan wisata, pengalaman saat perjalanan, tips yang terkait dengan persiapan perjalanan, atau juga promosi aplikasi/media yang membantu kegiatan wisata.
Masalah utamanya adalah, artikel yang sifatnya umum biasanya tidak semenarik artikel yang memberikan sentuhan pribadi (terutama pengalaman pribadi) di dalamnya. Lha, kalau menulis artikel travel berdasarkan pengalaman pribadi, berarti penulisnya harus sering jalan-jalan, dong. Ya iya, lah! Kalau isinya cuma nyontek Wikitravel, ya mendingan langsung buka artikel aslinya.
Jadi travel blogger? Ya harus jalan-jalan.
Saya sendiri, dalam menulis artikel tentunya juga harus memberikan sentuhan pribadi, yang umumnya saya terjemahkan dalam penulisan pengalaman pribadi, walau hanya sepintas lalu. Artinya, kalau saya menceritakan suatu tujuan wisata atau kisah perjalanan, tentunya saya juga harus terlibat di dalamnya dong. Paling tidak, saya harus sudah pernah ke tujuan wisata itu, jadi yang saya ceritakan memang sesuai dengan pengalaman pribadi.
Sialnya, bepergian tidak segampang itu. Kalau kita jalan dengan orang lain, ada banyak tawar-menawar di dalamnya. Kadang, hal-hal yang sebenarnya menarik untuk ditulis lebih dalam, tidak bisa diamati dengan detil, karena tour guide sudah menarik-narik baju kita untuk pindah ke tempat lain. Giliran jalan dengan teman sendiri, rekan travelling kita lama memilih-milih baju di pasar. Kita yang bingung karena kegiatan yang bisa menghabiskan waktu satu jam lebih itu tidak mudah dijadikan artikel travelling.
Tapi, kalau setiap saat kita pergi sendirian, kok boros ya? Bepergian sendiri lebih mahal karena kita tidak bisa berbagi biaya penginapan, biaya makanan, dan biaya transport. Kalau jalan-jalan ke kota besar seperti Hong Kong atau Singapura, biaya jalan sendiri dan barengan mungkin selisih sedikit. Tapi kalau jalan-jalan ke New Zealand atau ke Kepulauan Kei? Masa iya sewa mobil van atau sewa kapal sendiri? Ya kali, kalau situ artis Hollywood.
Di luar itu, pengalaman waktu perjalanan juga tidak semuanya terasa layak diceritakan. Ada kalanya juga, kita nyasar waktu jalan sendirian, jadinya tidak bisa mengunjungi tempat wisata yang menarik. Atau buru-buru, sehingga sepertinya foto-foto yang diambil jelek semua dan tidak layak upload. Atau, sakit perut sehingga tidak bisa menikmati pemandangan alam yang katanya seperti surga. Lha, pas menulis, tidak bisa banyak cerita soal pemandangannya karena tidak konsen waktu di sana. Ahaha ...
Suka bingung juga mau nulis apa.
Yang saya kagum, travel blogger profesional selalu bisa menceritakan berbagai kisah perjalanan mereka, meskipun kalau kita sendiri yang mengalaminya rasanya dangkal banget dan nggak layak diceritakan. Ada yang bisa cerita tentang kegagalan mengambil foto obyek tertentu, ada yang cerita kesialan yang dialami saat jalan-jalan, ada yang cerita tentang pengalaman nyasar ... dan saya kadang bertanya-tanya, dari mana ide menulisnya sehingga hal-hal (yang hina) itu bisa menarik untuk dibaca.
Nah, pernah saya berpikir, mungkin saya susah membuat artikel yang menarik seperti penjelasan di atas karena saya tidak bisa melawak, eh ... maksudnya membuat lelucon. Tapi, berhubung gaya bahasa saya cenderung formal, mungkin memang agak susah untuk memasukkan lelucon, ya. (Di dunia nyata sehari-hari, gaya bicara saya juga semi formal, lho. Mungkin karena dari kecil selalu diajarkan untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar di rumah.) Pada dasarnya, gaya berbicara dan gaya menulis orang berbeda-beda. Kalau saya paksakan untuk menggunakan gaya penulisan orang lain, pasti jadinya jelek dan garing. Ya jadinya, berusaha mengembangkan yang ada saja.
Kalau menulis artikel travel banyak kendalanya, kenapa bikin blog travel? Ya jelas, kalau saya, karena saya suka jalan-jalan. Mau jalan sendiri, bareng keluarga, bareng teman, ikut tour, ikut open trip, semuanya oke. Saya sendiri umumnya kalau jalan-jalan berusaha untuk tidak memiliki ekspektansi yang tinggi, jadi apapun yang ditemui atau dialami di jalan, disyukuri saja. Untuk saya, yang namanya jalan-jalan pasti menyenangkan. Dan, blog pribadi saya ini adalah semacam buku catatan perjalanan.
Paling, kalau sudah pulang ke rumah, bingung mau menulis apa. Rasanya, kok kemarin nggak lihat ini, nggak tanya soal ini, di tempat itu terlalu sebentar, atau nggak mengamati detil yang ini ... apa yang bisa ditulis, dong? Tapi terus dalam hitungan detik, saya pikir, ya sudahlah. Kalau rejeki, ntar balik lagi ke sana. Tulis yang ada saja. Detil yang kelewatan, bisa dicari di internet. (Ini beneran. Makanya artikel soal bangunan tua atau bersejarah biasanya saya sertai dengan penjelasan yang diambil dari Wikipedia. Kan, kadang kita nggak kepikiran untuk mencari sejarahnya atau detil lukisannya waktu di TKP.)
Galau? Ya udah, jalan-jalan lagi.
Waktu menulispun, kadang saya juga suka galau. Menuliskan keseluruhan perjalanan kadang terasa terlalu panjang. Kalau disingkat, kesannya seperti iklan tour. (Ini contoh artikel perjalanan yang malahan dikira iklan tour.) Kalau ditulis secara detil dan berjilid-jilid, rasanya jadi panjang banget dan orang bosan bacanya. (Ini contoh artikel pertama dari satu serial perjalanan yang lumayan panjang.)
Bisa juga, yang dituliskan adalah obyek tujuan wisatanya. (Ini contoh artikel tentang obyek tujuan wisata.) Artikel seperti ini, enaknya tidak terlalu panjang dan tidak perlu berjilid-jilid. Tidak enaknya, sentuhan pribadinya kurang terasa, karena kesannya terlalu informasi biasa. Pastinya ada banyak artikel dari ahli arkeologi atau arsitektur atau agen wisata yang bercerita jauh lebih lengkap dan mendalam dari blog kita. Belum lagi kalau kita harus bersaing dengan Wikipedia. Tidak mungkin ...
Mungkin juga, menuliskan opini. (Ini contoh artikel yang isinya opini.) Tapi travelblog nggak mungkin isinya opini terus-terusan dong. Harus ada artikel deskriptif tentang perjalanan atau tujuan wisata. Kalau tidak, jadinya blog pribadi biasa saja. Bisa juga isi blog adalah artikel daftar. (Ini contoh artikel yang isinya daftar.) Tapi, walaupun artikel tipe ini konon disukai Google Search, saya pada dasarnya kurang menyukai artikel daftar karena kadang tidak personal. Artikel seperti ini, bisa jadi hasil ramuan aduk-aduk berbagai bahan dari internet, jadi kadang tidak ada kesan personalnya.
Yang untuk blog saya benar-benar menaikkan traffic adalah penjelasan tentang jalur Transjakarta. (Ini contoh artikel tentang jalur Transjakarta.) Buat saya, ini termasuk artikel tentang travel. Isinya memang tidak personal. Tapi kalau menulis artikel seperti ini, harus siap-siap get personal di bagian komentar. Apa pasal? Orang akan banyak tanya tentang jalur busway dan saya (penulisnya) harus bisa menjawabnya dengan baik. Ini adalah artikel yang nggak mungkin saya tulis, kecuali kalau saya sudah beberapa kali menggunakan bus Transjakarta di sekitaran situ. (Dan kadang saya bertanya, kenapa sih orang yang bertanya nggak nge-twit ke akun twitter Transjakarta saja? Jawaban adminnya sudah pasti akurat dan dalam hitungan detik.)
Walaupun galau dalam menulis, saya tetap semangat kok. Soalnya menulis artikel di blog membuat saya merasa menciptakan sesuatu. Lebih senang lagi, kalau ada yang berkomentar. Lebih baik lagi, kalau ada yang bilang bahwa artikel saya berguna. Wah, itu adalah reward terbaik untuk saya sebagai blogger amatir.
Itulah suka dukanya saya jadi blogger dengan niche travel. Masih banyak lagi sih, yang mau dicurhatin. Tapi kalau kepanjangan, yang baca bosen yah. Saya juga bosan mengetiknya. Nah, buat yang juga punya blog, ada pengalaman yang menarik nggak, selama jadi blogger?

30 Komentar:

  1. Kadang suka kagum sama blogger-blogger yang ngambil tema travel di blognya. Soalnya di benak ane mereka pasti jalan-jalan terus wokwokwokowkow.

    Pengalaman selama nge-blog? Sering banget kehabisan ide, meskipun blog saya temanya bukan travel. Kadang ide itu muncul cuma sesekali, langsung hilang. Ya, ibarat ombak gitu mba. Kalo udah lupa, pusing udah mau nulis apa. Sementara itu, ide muncul di detik-detik akhir deadline posting harus up (di Sabtu jam 7 malem wkwokowkowok :v)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kehabisan ide tuh, bencana banget buat blogger, ya. Sampai sekarang juga masih mencari cara untuk "nyetok" artikel dan ide.

      Hapus
  2. kalau jadi blogger travaler cost nya besar sekali mbak hehe kalau emng udah banyak duit ya ga apa sih.
    saalam kenal mbak pertama singgah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, hasil menabung lah Kak. Salam kenal juga.

      Hapus
  3. Sebagai sesama blogger, gw tau rasanya bingung-mau-nulis-apa. Jangankan travel blogger, blogger sinting kaya gw, yang sebenernya tinggal cerita kehidupan sehari-hari aja suka bingung mau nulis apa. Kadang nulis kepanjangan nanti orang pada males baca. Nulis kependekan nanti orang ngira kita gak niat nulis. Serba salah jadinya. Akhirnya yaudah, dinikmati aja apa yang ada, wkwkwkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya... bisanya nulis apa, ya udah gitu aja. Asumsinya, kalau sering menulis harusnya semakin terlatih ya.

      Hapus
    2. ini pengalaman saya banget.apa adanya sajaaaa..hiks

      Hapus
  4. SAya belum pernah bepergian sendirian kecuali urusan dinas ke Jakarta. Jadi lom pny cerita solo travel kayak mb Diah yang udah melanglang buana sendiri. Keren mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, saya malahan nggak pernah dapat kesempatan dinas kantor, Bang. Pasti Bang Day ini orangnya pinter sampai sering dikirim kemana-mana ya.

      Hapus
    2. ah jangan suka menuduh gitu dong wkwkwkw

      Hapus
  5. Hebat..salut & angkat topi buat mba, blogger cwe yg sdh brani menjelajah.. Sya sbg cwo jd malu klo hnya bpergian dket2 & hnya bsa pergi jauh ktika dtugaskan kantor..hehe
    Suka bpetualang tp terkendala waktu & biaya..apalgi tmen jlan..
    Klo ada yg mau ngajak jlan ..hub sya di wa 087738367451 y..mb..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha saya malah nggak pernah dikirim tugas kantor. Terpaksa keluar uang sendiri.

      Hapus
  6. menulis memang harus dimulai dari apa yang kita suka. begitu sih teorinya. tapi ya kadang teori susah juga diaplikasikan. Blog travel menarik karena memberi gambaran penting bagi orang yang hendak bepergian. Tapi kadang blogger traveler suka melebih-lebihkan dalam menulis sebuah tempat. Banyak juga sih yang jujur. hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya jujur lho, Kak. Nggak dilebihkan dan nggak dikurangi. Tapi kadang, bumbu-bumbu menambah minat orang membaca. Makanya suka ada tambahannya...

      Hapus
  7. hahahaha..saya juga kesulitan menuliskan soal perjalanan kemana.ntah kenapa.mungkin karena nggak ngamatin detail bangunan atau tempat wisata tersebut. jadi sesekali aja deh nulis perjalanan.
    masalah lain adalah jarang jalan2..hahaha kasian deh. kalaupun jalan karena urusan pulang kampung ajah.hahaha.
    btw, makasih pencerahannya yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha, saya juga kebanyakan jalan-jalannya waktu pulang kampung lho. Sama, lah ... tetap jalan-jalan.

      Hapus
  8. Catatan penting: hal-hal 'hina' kadang lebih diminati. Kira-kira berlaku untuk saya juga tidak ya?

    BalasHapus
  9. Mangkanya dari semenjak awal membuat blog, aku sudah mencoba menghindari label 'travel' di benakku. Karena takutnya jadi beban, ehehe.

    Padahal, ga selalu harus melancong jauh juga sih. Cuma ya gitu, tetap saja harus keluar... Tapi bagus tuh konsepnya om Barraba : Traveller Paruh Waktu. Karena sebagai pekerja 9 to 5, kita biasanya cuma bisa travel di sela sela waktu luang kan ya.

    -Fajarwalker.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, konsep traveller paruh waktu tuh oke. Tapi saya penginnya sih full-time. Hehehe...

      Hapus
  10. Karena menulis adalah hobi, aku sih senang aja menulis pengalaman pribadi ketika lagi makan2, jalan2 ya sepitar ini sih plus kesehatan juga. Karena kan intinya kalau ga sehat, susah mau jalan2 dan makan enak hihihi. Pembaca percaya dengan tulisan kita apalagi ditambah foto2 pendukungnya. Yuk, jalan2 lagi! :D

    BalasHapus
  11. Ya Allah mbak Dee, kau mewakili isi hatiku banget. hahahaha
    sebagai travel blogger kelas ceremende, aku merasakan hal sama.

    BalasHapus
  12. Blog saya juga ada segmen travelnya, tapi mungkin kontennya ga sedetail tulisan para blogger travel murni :D Tapi bener juga, pengennya sih menyajikan pengalaman travel dengan detail tapi apa daya, karena kalau gitu liburannya jadi beban karena terus kepikiran gimana nanti isi konten blognya heu2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget! Padahal jalan-jalan liburan kan harusnya senang-senang, nggak terlalu mikir. Tapi buat para travel blogger professional, jalan-jalan itu kerja juga kali ya.

      Hapus
    2. Iya, jadi inget komentar teman2 ttg foto yg saya sharing di medsos, 'wah enak ya kerja sambil jalan2' haha, padahal disini lagi pusing mikir kerjaan :D Tapi ya bener juga, dari situ saya mulai mengapresiasi tiap perjalanan. Karena bukanlah tujuan yang terlalu difikirkan, tapi menikmati perjalanan jauh lebih penting.

      Hapus
    3. Iya. Orang mengapresiasi foto itu oke. Tulisan blog dibaca banyak orang itu oke. Tapi merasa senang waktu jalan-jalan itu priceless.

      Hapus
  13. Terimakasih infonya, sukses terus mbak..

    BalasHapus