3 November 2018

Museum Nasional Kamboja (The National Museum of Cambodia) menyimpan barang-barang bersejarah negara, terutama benda-benda purbakala. Pola penataannya hampir sama dengan gedung lama Museum Nasional di Jakarta. Kami berkesempatan untuk melihat prasasti-prasasti kuno yang ditermukan di candi-candi dan juga patung-patung dari jaman Kerajaan Khmer kuno. Patung-patung yang ditemukan ukurannya melebihi ukuran manusia lho. Ukurannya raksasa. Dan ada beberapa patung-patung yang raksasa seperti itu. Saya jadi ingat arca Bhairawa yang tingginya 4 meter di Museum Nasional Jakarta. Selain patung, ada juga semacam sarkofagus, nekara, dan patung lingga raksasa.
The National Museum of Cambodia.
Walaupun museum relatif sepi dan tertutup, kami tetap saja didatangi oleh seorang nenek-nenek yang memaksa kami membeli semacam gelang tali dan minta uang. Setelah kami tolak, dia lalu mengejar-ngejar seorang turis bule yang berada di dekat situ. Dalam hati saya bersyukur, di museum di Indonesia saya tidak pernah menemui yang seperti itu.
Karena saat kami ada di dalam museum tiba-tiba hujan deras, kami lalu duduk-duduk dulu sembil bengong di dalam museum. Padahal jarak museum ke hotel paling cuma 5 menit jalan kaki. Tapi kami malas kehujanan. Baru setelah hujan reda, kami kembali ke hotel dan tidur-tiduran di hotel.
Ibu saya merasa sayang, sudah jauh-jauh ke luar negeri, kok cuma leha-leha di hotel. Jadi dia lalu mengusulkan untuk cari acara di sore hari. Waktu itu sudah jam empat sore lebih. Eh, saat browsing-browsing, kami menemukan iklan pesiar untuk menikmati sunset di sungai Tonle Sap. Terus, disitu ditulis jam berangkatnya jam setengah enam. Dengan perkiraan jalan sekitar setengah jam dari hotel, kami semua buru-buru mencari tempat kapal itu berada. Buat catatan, sebetulnya ada banyak kapal yang menawarkan boat tour di sungai. Tapi karena umumnya tour sudah mulai jalan dari jam 4 atau jam 5, plus, umumnya harus reservasi dulu, jadi mencari kapal terdekat yang masih bisa menerima kami memang menjadi perkara tersendiri.
Untung masih dapat kapal. Masih sempat duduk-duduk sebelum sunset.
Untunglah kami tiba tepat waktu. Tepat jam lima lebih, kami tiba di kapal yang dimaksud. Saya buru-buru ke kapal dan tanya, apakah kami bisa ikut naik meskipun belum reservasi. Untunglah kursi di bagian dek bawah masih ada yang kosong. Setelah membeli tiket, kami pun mengambil kursi yang tersisa. Berhubung sekalian makan malam, kamipun memesan makanan. Jam 17:45, kapal mulai berangkat.
Perjalanan kami cukup pendek, sekitar satu jam kurang. Tapi cukup, lah, untuk melihat keadaan di sekitar sungai. Kota Phnom Penh terletak di tepi sungai Tonle Sap. Nah, persis di dekat istana, sungai Tonle Sap menyatu dengan sungai Mekong. Untuk informasi saja, sungai Mekong adalah sungai ketujuh terpanjang di Asia yang mengalir dari dataran tinggi Tibet sampai di Vietnam. Di seberang sungai Mekong, terdapat desa-desa Kamboja. Tidak ada jembatan yang menghubungkan desa-desa diseberang sungai Mekong dan kota Phnom Penh. Yang ada hanyalah kapal ferry yang mengangkut manusia dan mobil.
Nah, kalau di seberang sungai Tonle Sap, sepertinya areanya masih merupakan area kota Phnom Penh. Area yang lebih mirip daerah villa dan perumahan modern ini merupakan sebuah delta yang berbatasan dengan sungai Tonle Sap di sebelah timur dan sungai Mekong di sebelah barat. Kalau di sini, ada jembatan penghubung dengan kota Phnom Penh yang bisa dilalui mobil.
Desa yang terlihat di kejauhan di seberang sungai Mekong.
Phnom Penh di waktu sunset.
Memandangi kota Phnom Penh di waktu sunset ternyata keren juga. Apalagi melihatnya dari atas kapal. Bener-bener nggak rugi naik kapal ini. Tiket kapal harganya USD 6 perorang untuk sekitar satu jam perjalanan. Total biaya makanan dan minuman yang kami makan untuk bertiga adalah USD 19. Yah, bolehlah untuk pengalaman pesiar sambil menonton sunset di sungai Tonle Sap. Kalau cuma mau naik kapal saja dan nggak pesan makanan atau minuman juga boleh sih. Hanya saja, tidak boleh bawa makanan dan minuman dari luar, jadi jangan pamer bekal botol air mineral di atas meja.
Keluar dari kapal, sempat panik juga karena daerah pejalan kaki sudah sepi, gelap dan penerangan minim. Tadinya sempat kepikir untuk cari tuk-tuk. Tapi tempat tuk-tuk berada lumayan jauh juga. Jadinya kami pun dengan yakin (karena bertiga) jalan ke hotel dengan cepat di sepanjang sungai Tonle Sap. Untungnya begitu sampai di depan istana, jalanan menjadi lebih terang dan lebih ramai. Jadinya kami lebih tenang.
Di dekat hotel ada sebuah taman kecil yang dipakai untuk pasar malam. Letaknya sebenarnya persis di sebelah istana. Pasar malam ini ramai banget. Saya mencoba intip-intip, sepertinya tidak terlihat ada turis di sini. Jadinya kami agak males untuk ikutan di tengah keramaian itu. Biasa, takut copet.
Kamipun memilih untuk pulang ke hotel karena harus beres-beres. Besok pagi kami sudah harus mengejar pesawat untuk kembali ke Jakarta. Keesokan paginya, kami berangkat ke bandara dengan tuk-tuk yang sudah dipesan dari hotel, dan berangkat kembali ke Jakarta. (Hiks, liburan berakhir.)
Sampai jumpa lagi, Phnom Penh!
Sebagai catatan tambahan untuk yang mau jalan-jalan di Phnom Penh, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yang jelas, harus selalu menjaga barang-barang pribadi. Setiap kami naik tuk-tuk, sopir selalu mengingatkan kami untuk menjaga tas tangan karena rawan dijambret. Waktu pagi-pagi kami nyasar jalan kaki di dekat Royal University of Fine Arts, kami melewati gelandangan separuh bugil tiduran di pinggir jalan. Waktu kami lewat, dia langsung mengeluarkan pisau. Kami bertiga langsung mempercepat langkah kami. Untung dia tidak mengejar. Waktu di dalam Museum Nasional pun, ada nenek-nenek yang mengejar-ngejar pengunjung untuk membeli gelang tali. Yah, yang penting selalu waspada.
Untuk makanan, ini masalah pilihan dan selera sih. Buat yang harus makan makanan halal, menginap di hotel saya ini recommended banget karena di dekat hotel kami ada rumah makan Indonesia yang halal, namanya Warung Bali. Jalan kaki dari hotel paling 5 menit. Letaknya juga dekat banget dengan Museum Nasional. Untuk lokasinya, silakan cari di GoogleMaps. Beberapa kali saya lewat tempat ini, saya selalu mendengar orang berbicara dalam bahasa Indonesia. Lumayan kalau mau tanya-tanya dengan orang yang sudah cukup lama tinggal di Kamboja.
Tapi untuk yang tidak perlu makan makanan halal, ada banyak warung yang menjual makanan lokal. Karena kami sekeluarga tidak ada pantangan makanan apapun, kami selalu mencoba makanan lokal. Sebagian besar makanan lokal yang pakai daging, pakai daging babi atau minyak babi. Kalau pakai daging ayam atau sapi, sudah pasti dijagal dengan kebiasaan setempat.
Makanan khas Kamboja: Prahok Ktiss.
Nah, saya menyarankan untuk tidak dekat-dekat dengan warung-warung pizza di sepanjang sungai Tonle Sap. Letaknya juga cukup dekat dengan hotel kami, sih. Ada istilah happy pizza di Phnom Penh, dan itu banyak dijual di tempat pizza. Happy pizza adalah pizza yang ditaburi daun bahan obat terlarang. Yang satu ini saya tidak mencoba, dan tidak akan berminat mencoba. Walaupun sepertinya rumah makan-rumah makan ini menjual happy pizza secara bebas, namun drugs adalah illegal di Kamboja. Hati-hati, ya!
Tapi di luar hal-hal di atas, jalan-jalan di Phnom Penh menyenangkan. Tingkat polusi udaranya rendah, udaranya masih cukup hangat seperti di Indonesia, dan tidak terlalu kering. Banyak bangunan yang menarik dan khas Kamboja. Banyak orang jalan kaki, termasuk turis asing, jadi nggak perlu terlalu khawatir – sepanjang kita jalan di tempat-tempat yang ramai. Selama kita waspada, dan banyak berdoa, semoga perjalanan wisata menjadi menyenangkan. Mari, kita mengeksplor dunia!

(Selesai.)

18 Komentar:

  1. Astaga, di Pnom Penh kok ada ya pedagang setengah memaksa turis untuk beli dagangannya .. dan itu .. gelandangan membawa senjata tajam..
    Waah menakutkan juga ya kak.

    Beruntung liburan seru menyusuri sepanjang Pnom Penh naik kapal berakhir menyenangkan meski jadi cemas bertemu gelandangan begitu.

    Keren tuh pemandangan sunsetnya kak 👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, yang namanya turis ya selalu ada resiko menghadapi kriminalitas. Yang penting selalu waspada saja. Tapi pemandangan di Phnom Penh emang keren, sih.

      Hapus
  2. Jadi keinget Phnom Phen lagi habis baca artikel ini. Kemarin juga sempet ke museum nasional kamboja, pengen liat dance shownya juga eh tapi sampai sana tutup jd cuman numpang foto hehe. Padahal kayanya menarik isi museumnya :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, untung saya pas buka. Isi museumnya menarik sih, gaya-gayanya sama seperti Museum Gajah jaman dulu.

      Hapus
  3. Kudu waspada ya mbak kalau lagi jalan juga kalau pilih makanan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Makanya browsing sebelum berangkat dan persiapan sebelum travelling itu memang penting.

      Hapus
  4. Senang sekali rasanya mengetahui pengelolaan museum kita 'sedikit' lebih baik daripada museum di luar negeri sana.
    At least, beberapa musem yang saya kunjungi sepertinya blm pernah ada pengemis / penjual yang memaksa maksa :D

    Fajarwalker.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jujur saja, itu juga pertama kalinya saya mengalami hal seperti itu.

      Hapus
  5. Aaakkk sunsetnyaaaa! Warbiyasah! Btw soal pedagang yang maksa begitu, kalo di Indonesia banyak juga kak, tapi yang maksa minta duit kayak anak-anak kecil yann pernah saya temui di suatu lokasi wisata religi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh iya... kalau di tempat yang disinyalir bisa ngalap berkah, memang suka ada yang mengejar-ngejar pembeli. Di museum nasional Kamboja ini memang ada satu patung Budha yang biasa dijadikan tempat berdoa. Mungkin itu kali ya, penyebabnya.

      Hapus
  6. et dah, pizzanya ada taburan ganja? agak ngeri ya, kalau ke negera kyk gini memang ngak bisa bawa keluarga, cuacanya juga keknya gerah banget ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa bawa keluarga, lah. Tapi ya waspada saja. Banyak kok yang jalan-jalan bareng anak kecil dan baik-baik saja. Pas saya ke sana memang musim kering, jadi panas banget.

      Hapus
  7. ngeri neh pizzanya,
    btw asyik banget travelingnya

    BalasHapus
  8. Wah, itu foto sunsetnya keren banget mbak dyah. Cocok banget tuh buat foto prawedding heheh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ... tapi foto prewed di sore hari hasilnya jarang bagus. Soalnya pasti kelihatan gelap.

      Hapus
  9. Kalau sungai Mekong dengan pemandangan bukit-bukit karst yang menjulang itu jauh gak dari Phnom Penh? Tertarik dengan view sungai Mekong dengan pemandangannya itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh, saya malahan nggak pernah denger. Tapi seingat saya, daerah Phnom Penh datar, jadi mungkin bukit-bukit itu jauh ya...

      Hapus