17 Desember 2018


Artikel ini dibuat sebagai bagian dari BPN 30 Day Blog Challenge
Waktu saya masih kecil, saya tinggal di Solo. Solo juga bukan kota yang kecil-kecil amat ya. Tapi jelas jauh lah, dengan Jakarta yang sudah masuk kategori metropolitan. Waktu saya kuliah, saya diterima di universitas di Depok, Jawa Barat. Jadi, saya kemudian tinggal di Depok sampai awal-awal masa kerja. Setelah saya menemukan kos-kosan yang harganya masuk akal, saya kemudian pindah ke Jakarta. Sejak saat itu, saya belum berpindah lagi dari kota Jakarta.
Monumen Nasional atau Monas, salah satu landmark kota Jakarta.
Sebagai orang yang bekerja di bidang personalia, saya sudah sering merekrut orang dari luar Jakarta untuk kemudian bekerja di Jakarta. Mereka kemudian menjadi pendatang baru di Jakarta. Berkali-kali saya melakukan interview dan juga mendengarkan curhat orang-orang yang datang ke Jakarta. Ternyata, ada beberapa hal yang saya rasa berbeda antara orang yang datang ke Jakarta setelah kerja dan ketika masih kuliah.
Waktu saya pertama kali datang ke Jakarta, masa orientasi di kampus meliputi naik KRL (commuter line) ke kampus dan juga mengenali angkot di sekitar kampus. Selain itu, sebagai mahasiswa yang punya waktu cukup untuk kumpul-kumpul, saya bisa tiba-tiba diajak main ke rumah teman naik angkot atau bus. Saya ingat suatu hari, tiba-tiba jam 4 sore ada teman yang mengajak menonton film gratis di PPHUI Kuningan jam 6 sore. Saya tidak tahu caranya ke Kuningan dari Depok. Tapi teman saya yang asli Jakarta langsung menyeret saya naik KRL dan, viola, sampailah kami di PPHUI. Sejak saat itu, saya bisa ke GOR Sumantri (juga di Kuningan) sendiri tanpa teman.
Sementara waktu saya sudah kerja, saya menemukan ada seorang pegawai baru yang bilang gajinya nggak cukup untuk hidup di Jakarta. Alasannya, transportasi mahal. Dia kemana-mana naik taksi. Lha? Ternyata dia takut naik kopaja atau metromini, dan cuma berani naik Transjakarta di sekitaran Sudirman-Thamrin. Terus, karena dia tidak berjiwa petualang, dia tidak berani coba-coba bepergian sendiri. Lebih parahnya, tim kerjanya dia mayoritas sudah berkeluarga dan begitu jam 5 sore langsung pulang. Jadi dia benar-benar nggak punya teman yang bisa memperkenalkannya pada transportasi umum di Jakarta. Beda banget dengan saya, ya.
Waktu pertama-tama saya ke Jakarta, saya sempat bingung bagaimana caranya mengisi waktu luang di akhir pekan. Tapi, karena hidup di lingkungan kampus, saya biasa melihat pengumuman kegiatan kemahasiswaan sampai tumpang tindih di papan. Saya bisa ikut dua sampai tiga UKM sekaligus di awal masa kuliah saya. Lama-kelamaan, cuma satu yang bertahan – dan teman-teman di situ masih jadi teman hingga sekarang. Dari teman-teman di UKM dan teman di kuliah, saya dapat kesempatan untuk ikut kegiatan sosial, tahu jadwal pemutaran film gratis di pusat kebudayaan, sampai tahu acara-acara gratisan yang diselengarakan kementerian. Lama-kelamaan saya harus berpikir keras bagaimana caranya membagi waktu untuk semua kegiatan saya. Tiba-tiba jadi nona sibuk.
Waktu sudah kerja, saya tinggal melanjutkan hobi saya saja. Saya pernah ikut Indonesian Heritage Society, pernah ikut Toastmasters, pernah kursus bahasa Jepang, Perancis, Mandarin, Rusia, dan bahasa isyarat Bisindo. Belum lagi kursus singkat yang entah dari mana informasinya. Dan di antara teman-teman dari semua tempat itu, masih ada yang tetap berteman sampai sekarang. Sekarang saya sudah tidak ikut kegiatan apa-apa lagi, namun tiba-tiba aktif ngeblog. Eh, dapat teman juga lho, dari ngeblog.
Sementara saya menemukan rekan-rekan yang datang ke Jakarta ketika sudah kerja, temannya ya orang kantor atau teman kerja suami/istri. Ada juga yang berteman dengan teman SMA atau kuliahnya. Tapi jarang yang menambah teman baru di luar itu, kecuali referensi temannya. Sementara saya cukup beruntung karena bisa dapat kenalan dan informasi kegiatan begitu saja, ada juga yang nggak tahu mau ngapain di akhir pekan. (Kecuali yang suka ikut pelayanan di gereja ya, karena biasanya dapat banyak teman di situ.)
Jadi, kesimpulan saya, kalau jadi pendatang di sebuah kota baru – Jakarta, misalnya, perlu ada usaha lebih untuk mengenal lingkungan tempat tinggalnya. Kalau datangnya setelah bekerja, mungkin tidak bisa mengandalkan teman kantor. Mau tidak mau harus coba-coba sendiri mencari teman-teman di luar lingkungan kantor. Bisa saja ikut kegiatan di luar kantor yang membantu memperkenalkan diri dengan lebih banyak orang lagi. Jakarta ini kota besar, sayang kalau kita cuma tahu sedikit bagian darinya. Nggak rugi kok, ikut kegiatan macam-macam itu, selain menambah pengetahuan, juga menambah kenalan.

2 Komentar:

  1. Apalagi kalau gaul sama komunitas blog yang membernya ada yang menetap di Jakarta. Nambah lebih banyak teman, di luar teman kantor kan, Kak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menetap di Jakarta dan luar Jakarta. Tambah luas lagi dong temannya...

      Hapus